MANAJEMEN KEBENCANAAN BERBASIS INTEGRASI KOMUNITAS SOSIAL DAN BIROKRASI PEMERINTAHAN



MANAJEMEN KEBENCANAAN BERBASIS INTEGRASI KOMUNITAS SOSIAL DAN BIROKRASI PEMERINTAHAN

Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah lingkar bencana Pasifik atau yang dikenal dengan istilah Pacific Ring of Fire. United Nation Development Programme (UNDP)  mengenalkan beberapa istilah yang berkaitan dengan manajemen bencana. Bahaya (hazard) didefinisikan sebagai “a rare or extreme event in the natural or human-made environment the adverserly affects human life, property or activity to the extent of causing a disaster”. Definisi bahaya (hazard) menurut BAKORNAS PBP adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, dan kerusakan lingkungan. Sedangkan bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba – tiba atau perlahan – lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumberdaya manusia untuk mrnanggulanginya. (A.B. Susanto, 2006:2)
            Bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah gejala vulkanik, banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan sebagainya yang memberikan dampak kerusakan pada berbagai sektor. Jumlah kerusakan akibat bencana alam juga memberikan dampak secara ekonomi yakni kerugian yang diakibatkan oleh bencana juga lumayan besar. Pada tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam korban meninggal sebanyak 130.000 jiwa dan korban hilang sebanyak 37.000 jiwa. Jumlah ini belum mencakup korban yang mengungsi, total rumah yang hancur, dan sarana dan prasarana yang mengalami kerusakan. Total dana yang diperlukan untuk membangun kembali Aceh sebesar US$ 4.9 miliar.
            Penanganan kebencanaan di Indonesia sendiri dinilai kurang efektif. Mulai dari mitigasi, kewaspadaan, tanggapan, dan pemuliahan. Untuk hal mitigasi terdapat dua kebijakan yaitu kebijakan struktural yang bertumpu pada aspek pendekatan teknologi kebencanaan dan kebijakan nonstructural yang bertumpu pada pendekatan menghindari resiko yang tidak perlu dan merusak. Kedua jenis kebijakan tersebut belum dijalankan dengan baik oleh birokrasi Indonesia sebagai tindak identifikasi resiko. Pada tahap kewaspadaan, pemimpin organisasi ataupun birokrasi menyusun rencana aksi apabila bencana terjadi. Sayangnya, rencana aksi tidak diperkenalkan kepada publik sebagai langkah antisipasi. Tahap selanjutnya adalah berupa pengadaan tenaga darurat seperti tenaga medis. Tahap ini terjadi secara spontanitas di Indonesia dan bekerja apabila seusai terjadi bencana karena diakibatkan ketidakadanya perencanaan manajemen bencana. Pada tahap terakhir yakni tahap pemulihan, tahap pemulihan meliputi tafsiran kerugian dan evaluasi. Namun lagi – lagi tahap evaluasi belum dinilai maksimal, sebagai buktinya adalah bencana banjir yang berulang – ulang setiap tahunnya. Ini mengindikasikan bahwa lemahnya tindak pemulihan pascabencana oleh pemerintah atau birokrasi setempat.
            Kesigapan tanggap bencana yang ada di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh para volunteer atau sukarelawan yang tergabung dalam suatu komunitas sosial. Aparat birokrasi justru kalah cepat dalam penanganan evakuasi korban bencana. Akibatnya masyarakat tidak tertangani dengan baik seperti mendapatkan layanan kesehatan dan bantuan yang sia – sia dan belum mencapai sasaran karena ‘macet’ distribusi dan tidak tahu harus diserahkan kepada siapa. Sistem seperti ini sangat disayangkan mengingat para sukarelawan memiliki kontribusi yang tinggi namun tidak didukung pelayanan birokrasi yang tidak menjangkau.
            Tindakan yang dinilai tepat untuk sikap tanggap bencana adalah manajemen bencana berbasis komunitas. Dicanangkan dalam World Conference on Natural Disaster Reduction di Yokohama tahun 1994 mengenai Community-based Disaster Management. Komunitas ini dicanangkan sebagai kelompok sosial yang memiliki informasi yang memadai, memiliki kewaspadaan yang lebih tinggi, lebih aktif, serta memiliki kemampuan untuk berkoordinasi dan mendukung pemerintah. Seperti yang kita ketahui dalam penanganan bencana ada empat tahap, meliputi mitigasi, kewaspadaan, tanggapan, dan pemulihan. Keempat tahap ini akan menuai hasil maksimal jika ada keterlibatan komunitas local dalam pelaksanaannya. Bekerja sama dengan komunitas memiliki nilai plus tersendiri berupa muncul kemitraan jangka panjang dan dapat menjangkau korban dengan pendekatan pemahaman karakter masyarakat yang sekaligus bertujuan menghindari konflik sosial.
            Peranan komunitas penanganan sigap bencana ini meliputi cara memperoleh informasi data – data mengenai lokasi bencana, data penduduk, kebutuhan dan proses apa yang diperlukan dalam penanganan bencana, hal ini ditujukan agar pada saat bencana terjadi evakuasi akan berjalan dengan lancar dan masyarakat mudah untuk dihimbau dan ditata. Langkah selanjutnya adalah manajemen waktu yang cepat. Penanganan yang cepat dan tanggap akan menjadi hal yang penting dengan melibatkan prinsip kecepatan prioritas waktu dalam suatu komunitas untuk memperkuat gerakan tersebut. Langkah ketiga berupa pemindaian logistic, tujuannya adalah membagikan bantuan kepada semua korban dalam suatu bencana termasuk di daerah yang aksesnya terkendala. Selain itu untuk mengurangi resiko menumpuknya donasi bantuan yang tersimpan di gudang yang tak kunjung didistribusikan kepada para korban.
            Selain tindakan komunitas di atas perlu adanya kewaspadaan menghadapi bencana. Pemahaman tentang geografis suatu wilayah oleh semua pihak baik komunitas manajemen bencana, pemerintah, dan masyarakat haruslah diketahui sehingga berbagai pihak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai letak geografis wilayahnya yang rawan bencana. Koordinasi antarbadan adalah syarat mutlak dalam hal kewaspadaan terhadap bencana baik koordinasi antara pemerintah pusat dengan menterinya ataupun dengan pemerintah daerah. Hal ini bertujuan untuk mengkoordinasikan rencana, tugas, dan wewenang dalam implementasi rencana dan koordinasi.
            Dalam penanganan kebencanaan ini diperlukan pula sistem informasi yang memadai mulai dari proses pengumpulan data yang formal hingga sistem peringatan dini yang terangkum antarbadan organisasi baik pemerintah maupun komunitas manajemen bencana. Basis sumber daya pun harus segera diperhatikan seperti logistik, penampungan, makanan, obat – obatan, dan bantuan lainnya termasuk sitem peringatan berupa komunikasi. Selain hal – hal yang disebut di atas faktor terpenting lainnya adalah pendidikan dan pelatihan publik, baik pendidikan formal di sekolah, program ekstension, maupun media massa.
            Peran serta berbagai elemen dalam proses penanganan ini selanjutnya ada di tahap pemulihan. Pemulihan bukan hanya sekedar mengembalikan seperti sedia kala namun juga perbaikan di berbagai aspek bidang kehidupan jangka panjang seperti pembangunan jangka panjang, pembangunan ekonomi, integrasi social, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, ketahanan terhadap bencana dan mitigasi, serta pembentukan konsensus dan prosespartisipasi ketika membuat keputusan. Semua terangkum menjadi satu kesatuan proses penanganan tanggap bencana yang melibatkan unsur kemasyarakatan untuk menjadi insan yang peduli akan bencana.

REFERENSI
Susanto, A.B.2006.Disaster Management Di Negeri Rawan Bencaca.Jakarta:The               Jakarta Consulting Group & Eka Tjipta Foundation.
Partnership for Government Reform – Yogyakarta.2007.Pelajaran dari Yogya Dan Aceh.Yogyakarta:Partnership for Government Reform.

Komentar

  1. Mens titanium wedding rings - Tatiana Tignon
    Join titanium automatic watch us in celebrating titanium 4000 our 20 years of love and beauty, Tatiana titanium tent stakes Tignon – our premium wedding rings for Tatiana Tignon. Made citizen titanium dive watch in the nano titanium flat iron USA, this ring is one

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pros and Cons about Full Day School

RESENSI NOVEL SPRING IN LONDON

Perang Dingin Antara Uni Soviet dan Amerika Serikat