Bidikmisi, untuk Mereka yang Membutuhkan dan Dibutuhkan



Bidikmisi, untuk Mereka yang Membutuhkan dan Dibutuhkan

          Memasuki perguruan tinggi bukanlah hal yang dinilai sulit di era sekarang. Banyaknya beasiswa yang ditawarkan berbagai instansi membuka peluang bagi calon mahasiswa yang memasuki dunia perkuliahan, salah satunya adalah beasiswa bidikmisi. Bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan dari pemerintah Republik Indonesia yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Tujuan diadakannya beasiswa ini adalah untuk memberikan kesempatan melanjutkan studi bagi calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi dan memiliki atau berpotensi akademik. Selain itu dengan diselenggarakannya bantuan biaya pendidikan ini adalah untuk memutus rantai kemiskinan dan menciptakan generasi muda yang berdaya saing atau kompetitif dan cerdas.

          Penerima bidikmisi adalah mahasiswa S1, D4, dan D3. Biaya pendidikan untuk S1 dan D4 diberikan selama delapan semester sedangkan untuk D3 selama enam semester. Bidikmisi dipergunakan untuk uang kuliah dan biaya hidup yang diberikan tiap semesternya. Tujuannya untuk meringankan beban hidup bagi mahasiswa perantau dan nonperantau yang kekurangan dalam hal ekonomi atau uang saku sehari – hari.
          Dengan diadakannya program ini, pelajar – pelajar di Indonesia diberikan kesempatan seluas – luasnya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia bahkan perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Pemerintah memberikan kebijakan yang berguna untuk mencetak  putra – putri terbaik bangsa yang cerdas dan kompetitif.
          Namun di balik pemberian bantuan biaya pendidikan yang melalui mekanisme seleksi yang sangat ketat, masih ditemukan kesenjangan pendidikan antara mereka yang tak tersentuh oleh nikmatnya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Meskipun program bidikmisi sudah gencar – gencar dipromosikan nyatanya masih saja ada putra bangsa yang tak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dengan alasan tiada biaya.
          Ada suatu permasalahan yang sangat riskan yang membelakangi dampak dari pemberian bidikmisi. Penyalahgunaan bantuan bidikmisi adalah duduk perkara yang sudah pasti ada. Dari sekian banyak pendaftar bidikmisi yang saling memperebutkan kesempatan berkuliah dengan gratis, ada di antara mereka yang jelas – jelas berasal dari keluarga yang ekonominya cukup mapan. Namun ketika proses penyeleksian mereka tetap lolos dan dinyatakan sebagai mahasiswa penerima bidikmisi. Apalagi survey yang dilakukan adalah survey sebagian yang mungkin tidak menyentuh terhadap pendaftar bidikmisi yang melakukan kecurangan. Hal ini juga dibenarkan oleh seorang rekan saya (penulis, red) yang mengatakan orang tuanya memiliki mobil namun pada saat disurvey kebetulan mobilnya sedang tidak berada di rumah. Ada sedikit kejanggalan memang ketika ia menyebutkan keluarganya memiliki mobil (bisa saja menjadi pertimbangan kelayakan menerima bidikmisi) namun ibunya merupakan penjual makanan ringan atau gorengan. Dari realita tersebut pasti panitia seleksi bidikmisi mempunyai kriteria khusus untuk menilai kelayakan penerima bidikmisi sehingga mahasiswa tersebut diloloskan terlepas bahwa ia memiliki kendaraan bermotor berupa mobil.
          Kita tahu bahwa kecenderungan mahasiswa untuk memiliki penampilan yang baik adalah prioritas seorang mahasiswa termasuk memiliki barang berharga dan bersikap prestis untuk menunjang gaya hidupnya. Uang saku yang diterima mahasiswa bidikmisi per semesternya bertujuan untuk digunakan sebagai biaya hidup seperti biaya makan sehari – hari dan tempat tinggal. Belum lagi dipakai untuk membeli perlengkapan kuliah seperti alat tulis dan iuran – iuran kas kelas maupun organisasi. Pada kenyataannya ada pula mahasiswa yang menggunakan uang bidikmisi untuk membeli barang – barang yang terkesan mewah. Pada saat pencairan dana bidikmisi, ada sebagian mahasiswa bidikmisi yang langsung menggunakan uangnya (uang bidikmisi) untuk membeli telepon genggam, laptop, dan  barang – barang lain yang tergolong mahal untuk ukuran mahasiswa bidikmisi.
          Kenyataan tersebut muncul dari salah seorang rekan saya yang lain (penulis, red) yang menyatakan bahwa selepas pencairan dana bidikmisi ia menggunakan uang tersebut untuk membeli laptop, dan yang dibeli bukanlah laptop bermerek sederhana melainkan merek kelas atas. Nah, sudah jelas bahwa sepertinya ia tidak membutuhkan uang saku per semesternya untuk membiayai biaya hidupnya. Logikanya, jika ia tidak membutuhkan uang senilai Rp 3.600.000,00 per semesternya, ada kemungkinan orang tuanya sanggup membiayai pendidikannya dengan patokan UKT terbawah misalnya yang senilai Rp 500.000,00. Memang, analisa seperti itu bukanlah hal yang dapat dipikirkan secara dangkal, ada faktor – faktor lain pula yang mendukung dirinya untuk tetap dapat menerima beasiswa bidikmisi hingga ia lulus.
          Terlepas dari curangnya mahasiswa bidikmisi yang melakukan manipulasi, bantuan biaya pendidikan bidikmisi ini dinilai masih salah sasaran. Sejak digulirkannya bidikmisi pada 2010 silam, kejanggalan – kejanggalan dalam penerimaan mahasiswa bidikmisi juga masih ada. Biaya pendidikan yang dikhususkan untuk masyarakat miskin terambil oleh mahasiswa yang bukan haknya sebagai  penerima bidikmisi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tujuan dan fungsi bidikmisi yang tertuang dalam hitam di atas putih. Dana pendidikan yang diberikan tidak teralirkan dengan maksimal akibat adanya salah sasaran yang dilakukan oleh mahasiswa yang memanipulasi data ekonomi orang tuanya dan masih banyak lagi pelanggaran – pelanggaran dalam proses penyeleksian bidikmisi yang mengharuskan ada mahasiswa yang tak layak menerima.
          Kecondongan untuk menjadi penerima bidikmisi merupakan kebanggaan bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Namun masih terdapat kenyataan yang menunjukkan banyaknya lulusan SMA sederajat yang tidak melanjutkan pendidikan di bangku kuliah dengan alasan tidak ada biaya, tiada informasi yang dapat diakses, dan motivasi bekerja yang dapat menghasilkan pendapatan meskipun kerja serabutan. Ironinya, kebanyakan dari mereka adalah putra – putri bangsa yang cerdas dan pandai dalam sekolah dan harus menandaskan masa depan gemilangnya untuk berkuliah. Menjadi sebuah pertanyaan besar berupa ke manakah peran pemerintah dalam mensosialisasikan bidikmisi ke pelosok negeri? Seberapa kuatkah dorongan pemerintah kepada anak bangsa untuk menjadi insan yang berpendidikan?
Kita lihat bagaimana kondisi geografis Indonesia yang terpisah jarak antara satu pulau dengan lainnya hingga masih ada masyarakat pedalaman yang tak tersentuh oleh manisnya dunia pendidikan. Padahal pembangunan karakter bangsa dan produk – produk bangsa yang berkualitas yang siap membawa Indonesia ke arah lebih baik masih terkungkung oleh masalah – masalah yang belum juga teratasi hingga kini. Harapan – harapan memiliki putra terbaik bangsa dari daerah terluar di Indonesia masih menjadi impian yang terkepung oleh sebuah ironi. Ketiadaan akses informasi kebidikmisian menjadi penghambat vital dalam perjalanan program yang dikelola Dikti tersebut. Saluran listrik, media elektronik, tenaga pendidik, dan internet yang tidak mendukung yang jelas – jelas menghambat mereka untuk mendapatkan informasi dan melakukan pendaftaran bidikmisi. Meskipun ada program – program sosialisasi bidikmisi ke daerah – daerah terpencil namun tindakan ini belum juga menyentuh kepada mereka yang benar – benar membutuhkan masa depan dalam berkuliah. Sosialisasi yang diadakan pun juga masih berlingkup pada daerah yang dekat dengan universitas atau perguruan tinggi lainnya. Sebut saja Unair yang melakukan sosialisasi bidikmisi ke Pulau Madura, namun apakah perguruan tinggi – perguruan tinggi lain juga mensosialisasikan bidikmisi ke daerah seprovinsinya yang berada jauh di perbatasan negara Indonesia? Jawabannya pasti belum tentu. Belum tentu universitas yang berada di Pulau Kalimantan menjenguk mereka – mereka yang hendak melanjutkan pendidikannya.
Di balik ironi di atas, masih ada ironi yang muncul dari masyarakat yang tinggal di tengah – tengah kehidupan yang sudah tersentuh modernitas seperti di Pulau Jawa. Saya memiliki teman lagi, anaknya cerdas, pandai matematika, pribadinya baik, penurut, dan pekerja keras. Sambil bersekolah ia juga bekerja sebagai buruh tani dan membantu ayahnya di sawah ketika selepas pulang sekolah. Ia melakukan pekerjaan buruh serabutan pertanian seperti membajak sawah, memanen hasil bumi, proses penanaman produk pertanian yang ditujukan untuk mendapatkan uang saku tambahan. Lumayan memang, di samping ia sekolah ia juga mendapatkan penghasilan sendiri. Namun bukan di situ letak kebanggaannya, jelas – jelas dia adalah anak yang pintar namun ia tidak memiliki kesempatan berkuliah. Hal ini sangat ‘dieman – eman’ karena anak terbaik bangsa kehilangan harapan gemilangnya. Padahal ia hidup di tengah – tengah masyarakat modern yang segala fasilitas informasi dapat diakses dan tidak mungkin sekolahnya tidak memberi informasi kebidikmisian. Entah karena faktor pasti apa yang menyebabkannya atau mungkin keinginannya untuk tetap bekerja di sawah. Yang jelas anak semacam ini juga harus mendapatkan perhatian khusus untuk dapat melanjutkan pendidikan.
Dari sekian akar permasalahan yang terdapat, konklusinya adalah beasiswa bidikmisi yang terbuang sia – sia. Bidikmisi yang digunakan oleh mereka – mereka yang seharusnya pantas disebut sebagai orang mampu. Kuota – kuota bidikmisi yang disediakan perguruan tinggi masih tersisa disalurkan kepada para pendaftar bidikmisi yang belum jelas kebenarannya apakah ia layak menerima atau tidak. Permasalahan yang ada ini harus segera ditangani agar tidak menjadi masalah yang akut dan berdampak yang lebih besar. Ingat, masih banyak putra bangsa yang belum tersentuh kehidupannya, mereka menunggu aksi nyata dari kita semua, karena bidikmisi adalah beasiswa untuk mereka yang benar – benar membutuhkan dan dibutuhkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pros and Cons about Full Day School

RESENSI NOVEL SPRING IN LONDON

Perang Dingin Antara Uni Soviet dan Amerika Serikat