Kenapa Tidak Musik Kita Saja?

Kenapa Tidak Musik Kita Saja? K-Pop, J-Pop, Punk, Rock, Deathmetal, Alternative, musik yang sudah akrab di telinga anak muda. Bahkan para orang tua yang mana termasuk kaum awam mengerti genre musik tersebut walau tak tahu secara persis nama genrenya. Banyak genre musik impor alias bukan asli Indonesia melainkan datang dari luar negeri manggung mentereng menghiasi jagat industri musik tanah air. Karena sebagian besar musisi Indonesia membawakan lagu – lagunya dengan genre musik impor. Pop, Rock, Heavymetal, Deathmetal, Reggae dan sebagainya. Lagu – lagu yang mereka bawakan pun laris manis digilai penggemar musik seluruh Nusantara. Miris memang, antara musisi dan masyarakat yang terlalu sinkron dengan genre musik mereka masing – masing. Masyarakat kita telah dicekoki dengan genre musik impor yang semakin menjamur di tanah air.

Pasalnya genre musik ori Indonesia kalah saing dengan genre musik impor. Jarang sekali ditemui masyarakat yang menyukai genre musik tradisional atau asli Indonesia. Bagaimana dengan Dangdut? Dangdut, bukan lagi menampakkan wajah naturalnya. Kemasan musik ini pun sudah berbeda, sudah tidak original, sudah koploan, dan sudah oplosan. Musik Dangdut asli seperti yang diperkenalkan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama sudah jarang ditemukan mungkin kita lebih gampang menemukannya di kaset jadul atau Youtube. Bila dengan musik tradisional? Jangankan yang tradisional, Dangdut saja yang basisnya modern saja sudah mulai ditinggalkan, apalagi tradisional. Musik tradisional yang seperti Campursari, Kroncong, dan Gambang Kromong jarang sekali melantunkan lagu dan musik indahnya. Seakan hilang ditelan zaman dan diabaikan oleh pemiliknya sendiri. Terlena dan lupa, mungkin adalah salah satu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia. Terlena dengan genre musik yang diimpor dari luar negeri dan lupa dengan musik negeri sendiri. Membuat negeri ini bisa saja kehilangan jati dirinya. Padahal jika dikaji lagi, bukankah kita selalu kelabakan jika budaya kita diklaim negara tetangga? Jika pulau yang diincar negara tetangga bersimbol macan itu mudah, apalagi sebuah musik yang tak ada wujudnya. Bukankah lebih mudah? Nah, kita saja tidak mau menguri – uri musik tradisional dengan baik, bagaimana bila diklaim negara lain? Pasti kita marah – marah, mencaci maki entah itu menyebarkan sejumlah sms, demonstrasi, memajang status di media sosial hingga langkah pemerintah yang berusaha bernegosiasi dengan negara pengklaim tersebut. Bukankah awalnya masyarakat kita dan kita sendiri yang melupakannya, lalu mengapa kita tidak terima jika musik negeri kita diakui negara lain? Inilah yang menjadi permasalahan rumit ketika kita selalu menerima musik asing masuk dan tumbuh dengan subur di Indonesia sedangkan musik asli negeri kita tumbuh gersang tanpa penyiraman dan pemupukan. Sulit dipungkiri memang mencegah musik asing melenggang ria di tanah air. Namun bukankah lebih baik kita menghidupkan musik negeri kita sendiri? Dari sekaranglah sebaiknya kita berbenah, sedikit demi sedikit mengubah paradigma kita tentang musik tanah air yang kuno. Kita ubah menjadi musik yang menarik dan tak kalah saing dengan musik kontemporer. Masih ada angklung, gamelan, serunen, siter, dan apalah yang masih banyak lagi. Mungkin dapat dimulai dan diterapkan pada anak – anak muda, mempelajari musik tradisional di sekolah dan alangkah lebih baiknya mendirikan komunitas musik tradisional untuk diperkenalkan kepada masyarakat secara luas. Peran pemerintah pun juga diharapkan untuk menunjang kepopuleran musik tradisional, di antaranya mempersembahkan musik – musik tradisional di acara kenegaraan yang dihadiri oleh perwakilan negara lain. Tak lupa pula pengenalan musik tradisional melalui musisi Indonesia. Dengan cara ini diharapkan eksistensi musik tradisional lebih berkembang dan digemari masyarakat serta tak kalah saing dengan musik impor tentunya. (a37)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pros and Cons about Full Day School

RESENSI NOVEL SPRING IN LONDON

Perang Dingin Antara Uni Soviet dan Amerika Serikat