Bagaimana kabarmu sekolahku yang pernah kutempati dulu? Beralamatkan di Jalan Panglima Sudirman nomor 18 Gampengrejo Kediri. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Gampengrejo yang menghadap ke utara dengan kukuh. Gerbang berwarna hijau dan dan slogan – slogan adiwiyata yang tertempel di setiap sudut sekolah yang kuingat beberapa tahun silam. Rindangnya pepohonan pun menyejukkan kelas – kelas kami yang awalnya beralaskan ubin abu – abu dan akhirnya diganti keramik saat kami kelas tiga. Apa kabar Pak Catur yang garang dengan kayu rotannya? Memukuli jari – jari kami jika kami tidak lancar hafalan UUD 1945 dan jika nilai ulangan di bawah KKM.

Perasaan deg – degan selalu mengintai setiap relung jantung siswa ketika kayu rotan Pak Catur menggeliat mencari mangsa. Nun di sana, ibu guru cantik yang mengajari kami Bahasa Jawa, Ibu Siti Maesaroh, pripun kabare, Bu? Dengan sabar dan telaten memberikan tinta ilmu di otak kami, melukis pemahaman kami tentang Bahasa Jawa lengkap dengan aksara jawa dan syakalnya. Hahaha, Bu Mae, sungguh sabar sekali dirimu. Tertawa geli jika murid – murid perempuan selalu melihat gerak – gerik Pak Imam yang membahayakan. Sungguh heran, lelaki paruh baya tukang kebun sekolah yang suka menggoda anak – anak perempuan, centil sekali mereka. Membuat Pak Imam lupa usia. Sudahlah, kita tentu ingat dengan Ibu Guru yang mungil, Ibu Suli Setyawati, guru matematika yang trendi dengan ponsel yang tak luput dari genggamannya. Saat mengajar pun sering sekali beliau menerima panggilan telepon entah itu dari siapa. Ingat tidak teman, saat beliau mengucapkan, “2x + 3x = kring... kring...” ponselnya pun berbunyi dan memaksa Bu Suli untuk mengangkat telepon itu. Huh, membuang – buang waktu saja. Namun keadaan seperti inilah yang ditunggu – tunggu oleh sebagian siswa yang telah jenuh mempelajari matematika. Penat pastinya, apalagi fisika, yang diterangkan oleh “Mbah Kung Purwonggo”. Pak Purwonggo kelez.. Dijelaskan di papan tulis, diberi soal, dan dikerjakan sendiri olehnya. Pak, Pak, baik sekali Bapak, niatnya menguji pemahaman kami akan fisika kok malah dikerjakan sendiri. Terima kasih ya, Pak. Pak Purwonggo, wali kelas kami saat kami duduk di bangku kelas 1. Guru yang selalu bersabar mendidik dan mengarahkan kami yang nakal. Selain itu, apa kabar kumis Pak Tri Wicaksono yang melengkung bagai kumis Pak Raden? Pak Tri yang juga kekasih halal dari Ibu Wiwik Sugiarti ini selalu membuat kami kehabisan keberanian, selalu membuat nyali kami menciut. Kami memang anak desa, tak mengerti teknologi itu apa, tapi karena beliau kami mengerti Microsoft itu apa, monitor itu apa, software itu apa. Makanan apa itu? Hahaha. Jika hari Jumat tiba pasti ada kegiatan khusus yang diselenggrakan oleh sekolah kami. Seperti Jumat Sehat, Jumat Bersih, Jumat Kreasi, dan Jumat Rohani. Yang paling disenangi siswa adalah Jumat Sehat di mana kegiatan ini selalu diselenggarakan di Bendung Gerak Waru Turi sebelah barat sekolah kami. Dengan rimbunnya pepohonan di sana, derasnya arus sungai terpanjang di Pulau Jawa-Sungai Brantas, dan pastinya kandungan oksigen yang selalu bersih tersedia bagi penghirupnya. Apa kabar pula gunting Pak Marlan yang selalu membuat siswa laki – laki terbirit – birit ogah dipopol. Pak Marlan, guru fisika kami ketika kami kelas 2. Selalu membawa gunting ke mana pun beliau pergi, untuk menakut – nakuti siswa berambut gondrong. Hahaha. Walau pun begitu, Pak Marlan telah berhasil mengajari kami rumus – rumus fisika yang membuat kepala kami pening. Siluet senja di kelas 2, Ibu Sati Anggraini, masih sabarkah engkau? Wanita cantik dengan jilbab yang selalu tergerai menandakan muslimah sejati. Di kala Dies Miladiyah tiba, masih kuingat kelas kami yang kebingungan mengikuti lomba menghias tumpeng. Jujur saja, uang kas kami tak memadai untuk membeli tumpeng dan aksesorisnya. Bu Sati, iya, Bu Sati, yang kami andalkan, dengan rayuan gombal akhirnya Bu Sati mau menyumbang untuk keperluan lomba tumpeng tersebut. Bahasa Inggris kelas 2, wow, sulit banget. Setelah lelah mengikuti mata pelajaran olah raga yang diajar Pak Masrukin si master bola voli, kami harus lekas – lekas ganti pakaian kami lengkap dengan atributnya, dasi dan ikat pinggang misalnya, dalam waktu 10 menit harus segera sampai di dalam kelas. Pak Hudaini, dengan gaya berkacak pinggangnya memaksa kami agar lebih disiplin menghargai waktu. Guru Bahasa Inggris kami ini mungkin pada saat itu telah membuat kami jenuh, lelah, bosan, dan apalah yang buruk – buruk. Kami lelah Pak, pelajaran yang Bapak berikan begitu berat seiring tenaga kami yang terkuras di jam pelajaran olahraga tadi. Tapi kami menyadari, inilah cara menghargai waktu, inilah cara menjadi siswa yang disiplin. Semangat belajar kami seakan tak pernah pudar, apalagi jika melihat Ibu guru Bahasa Indonesia yang cantik jelita. Entahlah, banyak sekali guru cantik di sekolah kami. Bu Setyaningsih atau yang akrab disapa Bu Tya, dengan wajah yang selalu berbinar sebanding dengan kepandaiannya dalam olah sastra. Memilih diksi yang tepat untuk sebuah puisi. Bu Tya, ajari kami menulis puisi dan cerita pendek lagi. Gelak canda kami selalu meledak ketika Pak Bambang mengajar. Sambil menulis, kami selalu tertawa, kami selalu bahagia, bagai di dunia tanpa dosa. Guru PKn kami ini adalah tipe orang yang humoris, sering menggoda kami, membuat kami selalu menunggu kehadirannya. Sajian powerpoint pun tak lekang olehnya. Sembari menulis, kami juga mendengar kisah – kisah yang dituturkan Pak Bambang dengan logatnya yang khas. Ah, Pak Bambang, masihkah kau mengendarai motor bututmu itu? Kami semakin rindu. Menghafal nama – nama ilmiah makhluk hidup, menanam tanaman sulur, menyalin peta konsep tulisan tangan Pak Jumadi di papan tulis yang hampir kami semua tak mampu membacanya. Kamikah yang bodoh atau tulisanmu yang jelek Pak Jum? Sudahlah, intinya kami tetap bisa mempelajari pelajaran biologi dengan mudah. Buku rapot biru, tulisan indah wali kelas kami, Bu Sati yang tadi, sekaligus tulisan terakhir beliau di rapot kami, menandakan kami harus meninggalkan bangku kelas 2. Dengan senyum terlukis di bibir kami, kami telah menjadi siswa kelas 3. Pak Sukandar menyambut kami di kelas pada saat itu. Memproklamasikan dirinya menjadi wali kelas kami. Senang bukan main kami, sambil berjingkrak – jingkrak, ketawa cengengesan, bahagia sekali. Tuhan memberikan kami kado indah berupa Pak Sukandar, guru sejarah yang lucunya tak kalah dengan Pak Bambang. Kami rasa pelajaran fisika yang kami pelajari di kelas 3 ini tak semudah di kelas 2. Rangkaian listrik, anoda, katoda, akumulator, generator, apa itu? Kami hampir tak paham. Maafkan kami Bu Nurul Hayati, kami kesulitan menerima materi darimu. Entah mengapa nilai hasil ulangan harian kami tak memuaskan. Memang kami akui, kelas kami mendapat predikat kelas dengan siswa paling nakal. Kami tidak mengetahui mengapa kami menyandang predikat demikian, mungkin karena sikap kami yang semakin acuh dan tak segera bertaubat karena kami telah kelas 3. Dan pada saat itu, kelas kami mendapat semprotan tajam dari Pak Trisno Mulyo, kepala sekolah kami. Kami salah Pak, iya, kami salah. Sekolah adalah tempat belajar, namun kami menggunakannya pula sebagai taman bermain. Sepertinya kami kurang menikmati masa kecil kami, Pak. Hahaha. Kami tak pernah takut akan semprotan guru – guru, memang, kenakalan kami muncul di sini, di waktu senja kami di SMP ini. Kami tidak takut jika Pak Agung, guru olahraga menghukum kami, dengan genre SERIUSa-nya yang tegas wa disiplin memberi pelajaran bagi kami. Namun, kami tak takut, Pak, justru kami senang, dari sinilah kami bisa mengenal Bapak, mengenal bagaimana cara menghadapi orang marah. Wah, kami nakal sekali ya. Oh iya, air mata kami sempat menetes ketika Bu Titik Sumarmi menyanyikan lagu Ayah karya Ebiet G. Ade. Dengan suara merdunya, Bu Titik berhasil membuat kami menitikkan air mata. Begitu pula guru baru kami, Bu Etik yang juga guru BK, memotivasi kami hingga terdengar nada sesenggukan dari kami. Terimakasih telah mengajari kami segalanya. Mengajari berbagai ilmu yang dulu kami rasa tak penting. Ternyata penting juga. Pak Kahfi, Pak Sampurno, Pak Aman, memberikan ilmu agama pada kami. Mengajari kami yang mana itu anak desa yang belum bisa membaca Al Qur’an dengan lancar, melatih sikap tawadhu’ kami dengan kewajiban menunaikan sholat Dhuha di Musholla Diponegoro. Aku (yang kini bukan kami, karena telah tak bersama – sama lagi), telah berdiri jauh di sebuah madrasah yang kini kutempati. Jauh dari teman – teman lama, jauh dari bapak ibu guru SMP. Aku rindu, rindu akan segalanya, rindu mentari menyapaku saat aku tiba di sekolah, rindu saat upacara hari senin, rindu perpustakaan yang selalu ditata rapi Bu Ani di sebelah ruang seni musik. Apa kabar pula mading kesayanganku? Aku lupa menyebutkanmu tadi, mading yang pernah memuat hasil coretan penaku. Begitu pula dengan guru pembina ekstra jurnalisku, Bu Syarifah. Tak lupa juga, aku rindu dengan gelak canda dari kelas – kelas lain yang selalu terdengar dari kelasku. Juga, aku rindu seseorang, nun jauh yang pernah melukis hari – hari indahku, dengan sabar mengajariku teori mata pelajaran olahraga khususnya voli, mengajakku bercanda dengan tingkah malu – malunya. Kini, aku bukan lagi kami, aku sendiri, di tengah bayang – bayang sepi. Mengapa aku menyendiri, mengapa aku jauh dari kalian? Karena sekolah barulah yang memisahkan kita. Kawan suatu saat kita akan berdiri bersama, melangkah bersama, kita tahu kawan, kita telah dewasa, kita bukanlah anak – anak ingusan beberapa tahun silam, kita bukan siswa biru putih lagi. Dalam keheningan kesunyian ini, masih berharap ada kesempatan berjumpa walau di ujung masa. Dengan guru, satpam, tukang kebun, ibu kantin, karyawan, dan ibu Ani, petugas perpustakaan yang cantik. Kawan, aku akan selalu merindumu... I will always miss you, and I will always love you..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pros and Cons about Full Day School

RESENSI NOVEL SPRING IN LONDON

Perang Dingin Antara Uni Soviet dan Amerika Serikat