DILEMATIS PRODUK KUE SELEBRITIS

Pendahuluan
            Fenomena merebaknya bisnis artis belakangan ini menjadi latah sosial yang menjangkiti beberapa selebriti di tanah air. Tak hanya menunggangi popularitas sebagai publik figur, sederet selebriti pun mencoba peruntungan di ranah lain yakni pada ranah bisnis. Diawali pada kiprah Teuku Wisnu yang mempopulerkan Struddle Malang yang menjadi ikon baru jajanan oleh – oleh Malang, kiprah Wisnu ini seakan menjadi trending topic bagi selebriti lain. Beberapa nama selebriti pun muncul dengan dagangannya. Di antara mereka adalah Laudya Cintya Bella, Irwansyah, Zaskia Sungkar, Shireen Sungkar, Zaskia Adya Mecca, Dude Harlino, Glenn Alinskie, Chelsea Olivia, dan baru – baru ini di Surabaya ada Ria Ricis featuring kakaknya, Okie Setiana Dewi.
Sumber gambar : hipwee.com
            Bisnis yang digelar oleh selebriti ini bisa dikatakan meraup untung yang tinggi. Terbukti dengan membludaknya antrean pengunjung outlet produk yang mengatasnamakan oleh – oleh kekinian tersebut menjadi suatu hal yang viral. Promosi pun gencar dilakukan oleh sleebrti selaku yang memimpin dagangan. Apalagi dengan dukungan sosial media berupa instagram dan menggunakan popularitas nama menjadi pendompleng dalam berwirausaaha.

Berikut merupakan daftar nama produk selebriti :
Nama Selebriti
Nama Produk
Irwansyah
Medan Napoleon
Irwansyah
Palembang Lamonde
Zaskia Sungkar
Surabaya Snowcake
Shireen Sungkar
Bogor Raincake
Teuku Wisnu
Strudle Malang
Laudya Chintya Bella
Bandung Makuta
Dude Harlino
Jogja Scrummy
Dude Harlino
Minang Nantigo
Glenn Alinskie
Pontianak Lamington
Chelsea Olivia
Semarang Wifecake
Indra Bekti
Cirebon Sultana
Zaskia Adya Mecca
MamahkeJogja
Irfan Hakim
Makassar Baklave
Ricky Harun
Makassar Bosang
Oki Setiana Dewi dan Ria Ricis
Surabaya Patata
Nagita Slavina
Gigi Eatcake
Prilly Latuconsina
Reallycake Khatulistiwa
Mikha Tambayong
Manado Milvil
Jessica Milla
Solo Pluffy
Ussy Sulistyowati
Cirebon Kelana
Ruben Onsu
Jambi Jambe
Anto Hoed dan Melly Goeslaw
Pekanbaru Justcake
Vidi Aldiano
Surabaya Vidi Vini Vici
            Produk yang ditawarkan oleh para selebriti tersebut mengusung tema yang sama, yakni oleh – oleh khas kekinian. Harga yang dibandrol pun bukan harga yang terbilang bisa dijangkau kalangan menengah ke bawah. Untuk satu produknya ditetapkan harga sekitar enam puluh ribu rupiah. Hal ini menandakan bahwa pembeli rata – rata adalah kalangan menengah dan ke atas. Selain itu, produk dagangan pun berbahan dasar yang sama, untuk puff dan pastry. Jika oleh – oleh tradisional berbahan baku khas dan tradisional pula, akan tetapi oleh – oleh yang dipopulerkan ini telah mengalami modifikasi ke dalam bentuk baru, yakni kue dan pastry. Oleh – oleh Yogyakarta misalnya, masyarakat telah mengenal bakpia sejak lama sebagai penganan khas yang harus dibawa pulang dari Jogja. Akan tetapi, masyarakat pada era sekarang akan teralihkan dari bakpia ke Jogja Scrummy atau MamahkeJogja. Hal ini tak dapat dipungkiri bahwa promosi selebriti telah mengubah konstruksi pemikiran masyarakat bahwa tidak asyik rasanya pulang dari Jogja tanpa membawa oleh – oleh khas kekinian.
            Dari fenomena latah sosial tersebut, masyarakat rela antre berjam – jam dan berdesakan demi sebuah makanan baru dari para selebriti. Belum lagi apabila terdapat penawaran diskon 50% apabila pembeli dapat menunjukkan bukti repost di instagram. Hal ini justru menambah rasa keegoan masyarakat untuk terus mengkonsumsi produk – produk baru yang dirasa kekinian. Padahal bila dirujuk dari satu ke yang lainnya, terdapat kemiripan yang sangat jelas di antara semua produk selebriti, terutama pada bahan dasarnya. Sedangkan yang menjadi pembeda hanyalah rasa dan penampilannya saja.
            Pada mulanya, masyarakat menyambut baik kehadiran produk kuliner selebriti yang digawangi oleh Teuku Wisnu pertama kali. Namun lama kelamaan hal ini menjadi latah sosial dan menyedot berbagai opini yang dikeluarkan masyarakat. Bukan pada harga yang tinggi, akan tetapi lebih kepada keprihatinan bahwa popularitas produk selebriti telah menggeser makanan khas suatu daerah. Pertama, produk selebriti mencatut nama daerah. Nama Bandung Makuta, Surabaya Snowcake, Jogja Scrummy dan beberapa produk lain hanyalah strategi pemasaran atau branding yang dilakukan manajemen perusahaan. Selebihnya bukan seperti itu. Tidak ada sejarah bahwa Bandung memiliki kue khas yang bernama Makuta dan begitu pula tidak ada sejarah yang mengatakan bahwa produk pastry adalah makanan khas Yogyakarta. Hal ini bisa dikatakan pencatutan nama, sebab makanan – makanan tersebut telah berhasil menggeser kepopuleran bakpia dan peuyeum sebagai oleh – oleh kedua kota besar tersebut. Yogyakarta yang sebelumnya dikenal sebagai kota bakpia, kota gudeg, dan beberapa jajanan pasar khas Mataraman sudah bergeser ke Jogja Scrummy dan Mamahke Jogja yang semakin melebarkan sayap. Selain itu, makanan khas daerah pun pasti memiliki akar sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari nama kota tersebut. Misalnya adalah Semarang, kota ini memiliki makanan khas berupa lumpia yang telah dikenal luas masyarakat. Sejarah pun mencatat bahwa lumpia merupakan akulturasi dari budaya Jawa dan China yang berkembang di pesisir Semarang. Beda halnya dengan produk selebriti yang berupa kue, sejak kapan Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, dan Bogor memiliki oleh – oleh kue kekinian. Hal ini pun masih dipertanyakan.
            Kedua, hal yang terlihat jelas dari pencatutan nama tersebut adalah tidak mencerminkan karakteristik kota. Kemunculan dari adanya produk – produk yang sangat laris tersebut didorong oleh keinginan bisnis yang dengan sengaja membawa nama kota sebagai pembesar sebuah produk. Oleh – oleh kekinian tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan kota yang ‘dihinggapi’. Puff dan pastry serta rasa – rasa yang disajikan seperti matcha, cokelat, red velvet, keju, dan banana sama sekali tidak mencerminkan nama sebuah daerah. Hal ini sedikit berbeda dengan Strudle Malang yang menggunakan apel Malang yang merupakan produk khas Kota Malang. Akan tetapi sejumlah produk lain tidak ikut serta memberdayakan potensi lokal suatu daerah yang diklaim sebagai tempat dagangannya.
            Ketiga, kehadiran makanan kekinian ini menyaingi produk lokal. Eksistensi beberapa makanan khas yang telah ada sejak puluhan tahun lalu akan mudah tergeser popularitasnya dengan produk baru. Bukan hanya pada segi rasa dan penampilannya, masyarakat terkonstruksi untuk membeli produk tersebut oleh karena didiorong rasa penasaran akan hal baru, dan kue – kue tersebut merupakan produk selebriti. Hal ini menunjukkan bahwa jajanan baru dapat tergolong dalam produk industri budaya masa atau budaya populer karena dengan branding yang mudah sehingga cepat dikenal masyarakat.
Keempat, bahan baku dari jajanan selebriti adalah bahan baku kue. Produk jajanan selebriti ini memang dikenal dengan produk puff dan pastry. Hampir semua produk selebriti berupa kuliner modern. Hal ini juga bertolak belakang dengan nama kota yang disandang sebagai alternatif oleh – oleh. Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Pontianak, Semarang, dan beberapa kota lain memiliki makanan tradisional yang berbeda dan berbahan dasar berbeda pula. Namun produk jajanan selebriti bahan dasarnya adalah sama, begitu juga rasanya. Hanya pada sekitar cokelat, keju, red velvet, matcha, dan beberapa varian rasa modern yang sudah dikenal publik. Sedangkan lapis legit, bakpia, peuyeum, dodol, memiliki cita rasa yang berbeda, bentuknya pun berbeda pula, sehingga orang dengan mudah mengenalinya. Berbeda dengan jajanan kekinian tersebut, oleh karena memiliki bahan baku yang sama, bentuk yang hampir sama, rasa yang hampir sama pula, hanya saja penampilannya yang berbeda, masyarakat mungkin tidak terlalu hafal dengan nama – nama jajan kekinian tersebut. Apabila dipertukarkan pun orang akan mengira bahwa Baklave adalah dari Pontianak, dan Patata berasal dari Yogyakarta.
Kelima, adalah strategi branding yang sangat mudah. Untuk terjun dan memulai usaha bisnis, diperlukan upaya khusus agar perusahaan tetap berjalan, begitu pula pada produknya. Salah satunya adalah strategi pemasaran dengan cara branding. Branding merupakan upaya penciptaan image suatu produk atau hal supaya dikenal khalayak luas. Branding tidak hanya pada sebuah kota, perusahaan manufaktur, pelayanan publik, tetapi juga pada produk kuliner. Untuk menghasilkan output dan outcome yang baik maka diperlukan upaya pemasaran dan branding yang luas. Tetapi hal ini sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan produk – produk selebriti. Selebriti tak perlu menyusun dan melakukan branding dan pemasaran yang kuat untuk sebuah promosi yang maksimal, tetapi cukup menggunakan nama kebesarannya sebgaai seorang publik figur saja, itu dapat mendorong dan mendompleng usaha barunya. Setiap selebriti memiliki akun media sosial seperti instagram, snapchat, official account line, youtube, dan beberapa media sosial lainnya. Hal ini digunakan sebagai upaya branding dan memasarkan produk dengan memgandalkan follower yang sudah banyak. Maka tak heran apabila produk selebriti lebih cepat laku dibanding produk baru lainnya. Selebriti cukup mengunggah foto dan deskripsi produk di media sosial maka pengunjung outlet pun bertambah dan mengantre berdesakan. Hal ini tidak akan pernah terjadi pada jenis usaha yang dikembangkan oleh masyarakat yang tidak memiliki popularitas. Hasil akan nihil apabila hanya mengandalkan kekuatan media sosial dan membranding dengan cara seadanya.

Analisis dan Pembahasan
Konsumsi Sosial Budaya
            Mengkonsumsi suatu barang baru adalah hal yang selalu dinanti – nanti publik setelah adanya promosi di media massa. Hal ini berlaku pada masyarakat post modern yang selalu ingin mencoba dan mencoba. Masyarakat akan tergiur oleh hal – hal yang dinilau prestise, indah, dan memiliki nilai tersendiri. Hal ini berlaku pada konsumsi produk selebriti. Orang tidak akan berpikir panjang untuk membeli sekotak kue yang harganya di atas enam puluh ribu rupiah dan mengantre sepersekian antrean yang begitu panjang..
            Promosi yang dikeluarkan oleh manajemen berhasil mendulang keuntungan dari ketertarikan masyarakat. Dengan penampilan kue yang terbilang sudah mainstream, pun dengan rasanya, namun masyarakat dapat masuk dalam dunia simulakra. Masyarakat akan rela mengantre berjam – jam demi sebuah kue. Soal harga pun, masyarakat juga akan berani merogoh kocek yang tak seberapa. Bukan hanya pada pembelian satu atau dua kotak, masyarakat rela membeli berkotak – kotak roti karena anggapan mengikuti kekinian. Hal ini dinilai sebagai tindkaan di luar rasional. Bagaimana mungkin masyarakat dapat mau melakukan pengorbanan besar demi sebuah kue, namun ini berbeda dengan realitanya. Aktivitas ekonomi bukanlah realitas sosial yang soliter dan hanya berkaitan dengan transaksi jual beli barang yang menekankan untung rugi semata, melainkan di dlaamnya juga bertali temali dengan aspek – aspek budaya sosial yang kompleks (Suyanto, 2014:12).
            Jika diamati lebih mendalam, apalah arti sebuah rasa dan nilai guna sebuah barang, apalagi sebuah kue. Namun promosi dari suatu produk dapat pula memberikan pemikiran baru bagi orang lain. Promosi yang begitu gencar dilaukan dengan membawa embel – embel nama selebriti jelas dapat mendompleng untung yang luar biasa. Sebut saja outlet roti nasional yang tersebar di beberapa kota, ia tak sampai sebegitu ramainya jika dibandingkan dengan outlet kue selebriti. Padahal promosi dan iklan yang berturut – turut juga dilakukan. Tetapi letak dari kelemahan promosi adalah kurang memikat konstruksi pemikiran masyarakat, begitu pula dengan cara brandingnya. Hal ini mempengaruhi pola pemikiran masyarakat dari yang awlanya memilih suatu produk diukur dari sebuah nilai guna dan nilai tukar, tetapi jika ditelisik dari kasus ini, akan keluar dari zona yang dimaksud.
            Tak selamanya bahwa pemikiran masyarakat terhadap kegiatan ekonomi pada basis untung dan rugi. Jika ditinjau dari hal ini, konsumen akan mengalami beberapa kerugian. Di antaranya adalah kue yang harganya terbilang mahal untuk kalangan menengah ke bawah, antrean yang snagat panjang, dan upaya yang harus ditempuh apabila ingin mendapatkan bonus gratisan atau menggunakan promo. Sebenarnya wajar saja jika terdapat hal yang diinginkan konsumen. Apabila merujuk pada pemikiran Adam Smith, hal ini snagat kontradiktif. Smith menyoroti perilaku ekonomi bergantung pada pertimbangan untung rugi. Hal ini juga yang terjadi pada ekonomi universal. Pembeli dan penjual akan memikirkan cara bagaimana dapat meraup untung dan memperkecil pengeluaran demi sebuah barang dan kepuasan. Tetapi masyarakat sudah bergeser realita pada yang seharusnya. Pandangan seperti ini tak berlaku apabila bersentuhan dengan masyarakat psot modern. Masyarakat yang menginginkan hal baru, meningkatkan prestise, dinilai kekinian, akan memanfaatkan situasi dan menggunakan segala cara untuk menunjang penampilan dan gaya hidupnya. Apabila teori – teori dalam ekonomi membahas masalah untung dan rugi, hal ini berbeda dengan yang diutarakan oleh Bagong Suyanto (2014) dalam bukunya, bahwa sosiologi ekonomi meyakini perilaku manusia acap kali justru tidak hanya mempertimbangkan untung rugi, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana konstruksi sosial masyarakat yang bersangkutan dalam memandang arti penting atau fungsi sebuah barang dan jasa. Kue – kue selebriti ini tidak dipandang sebagai makanan pengganjal rasa lapar atau pada taraf pemenuhan kebutuhan saja, tetapi hal ini berkaitan dengan perilaku masyarakat post modern. Membeli Surabaya Patata, Jogja Scrummy, Bandung Makuta, adalah untuk menunjang cara dia keluar dari zona biasa. Lalu masyarakat akan terkesan lebih kekinian atau modern apabila mengunggah sebuah foto kue tersebut ke akun media sosialnya dengan mention ke akun produk tersebut.
            Produksi sebuah komoditas awalnya untuk dijual ke pasar dan untuk di konsumsi konsumen adalah tujuan utama. Namun pada saat ini komoditas menjadi sebuah hal penting dalam dunai ekonomi. Komoditas dianggap sebagai hal yang harus dpaat diraih. Tak peduli dmegan berbagai pengorbanan yang dilalui. Hal ini bisa dilihat dari panjangnya antrean di oulet Surabaya Patata jalan Dharmahusada Surabaya, antrean terlihat mengular dan pengunjung outlet begitu sabar menunggu antrean. Hanya demi kue sekotak atau beberapa kotak, pengunjung rela berjam – jam mendapatkan kue tersebut. Meskipun disediakan tempat antrean yang teduh oleh atap, tetapi udara panas Surabaya dapat mengakibatkan kebosanan menunggu antrean. Dari sini, dapat diketahui bahwa komoditas bukan lagi sebatas baramg biasa, ia layaknya dewa yang dipuja dan didapatkan dnegan pengorabnan cara – cara. Pemikiran ini diproduksi oleh Karl Marx yang menilai bahwa komoditas pada era kapitalisme bukan hanya terletak pada nilai guna, tetapi komoditas sengaja dihasilkan untuk dijual ke pasar, produk – produk tersebut tidak hanya memiliki nilai guna, namun juga memiliki nilai tukar (Suyanto, 2014:18).
            Menurut Marx, perilaku – perilaku tersebut disebut sebagai feteshism of comodity atau pemberhalaan komoditas. Marx menyebut bahwa masyarakat memperlakukan komoditas sebagai layaknya dewa yang dipuja – puja. Dengan segala cara, masyarakat terkonstruksi untuk membeli produk yang senyatanya tidak terlalu ia butuhkan. Tetapi dengan cara – cara kapitalis mengembangkan pola pemikiran masyarakat, maka dengan mudah masyarakat akan memiliki konstruksi pemikiran yang mengarah pada pemberhalaan komoditas. Komoditas – komoditas ini snegaja diburu dan dicari agar dinilai lebih kekinian. Belum lagi apabila outlet memberlakukan promo baru gratis atau diskon lima puluh persen untuk empat puluh pengunjung pertama, sudah jelas masyarakat akan datang lebih awal untuk melakukan pembelian. Ujung – ujungnya kehadiran produk – produk ini akan melahirkan fanatisme yang luar biasa dan akan memunculkan pola konsumsi yang berlebihan.
            Ranah permainan kapitalisme pada era post modern bukan lagi menuju pada eksploitasi pekerja atau buruh tetapi pada eksploitasi konsumen. Untuk sebuah alasan meraup keuntungan, bukan lagi pada produksi yang besar dengan menjangkau semua keuntungan yang dilimpahkan pada peran buruh. Ritzer mengatakan bahwa pada era post modern seperti ini, kapitalis memberlakukan segala cara untuk mengikat konsumen. Hal ini disadari atau tidak bahwa peran konsumen sangat besar dalam sebuah peruntungn bisnis. Ritzer (dalam Suyanto 2014) menyebutkan bahwa ada dua pergeseran ekonomi kapitalis pada masyarakat post modern, yaitu pergeseran produksi ke konsumsi dan pengeksploitasian pekerja ke konsumen. Kedua indikator ini sangat jelas dilihat pada era sekarang bagaimana kapitalis memegang kendali atas perilaku konsumsi masyarakat. Jika sosiologi ekonomi pada awalnya membahas pada basis produksi, namun saat ini hal yang relevan dikaji adalah masalah konsumsi. Dapat dilihat pada bebrapa perusahaan baik barang maupun jasa, telah mengalami pergeseran yang signifikan. Kue – kue diproduksi dengan cara yang terstandar dan biasa dalam hal ini juga semua pabrik – pabrik kue juga menerapkan hal yang sama. Namun hal pembedanya adalah meraih kepercayaan customer. Untuk mendapatkan pelanggan diperlukan usaha yang benar – benar tepat dan maksimal. Termasuk dalam bisnis kue selebriti ini, pemasaran kue pun lebih mudah dilakukan dengan membawa nama publik figur yang bersangkutan untuk mengkonstruksi pemikiran masyarakat atau konsumen. Selain iu, seperti yang diutarakan Ritzer, kiprah kapitalis juga menggeser eksploitasi pekerja ke eksploitasi konsumen. Dengan segala cara branding, pihak manajemen perusahaan berupaya mendorong pemikiran masyarakat untuk mengkonsumsi barang – barang yang dinilai kekinian dan sesuai dengan zaman. Kapitalis pun merekayasa sedemikian rupa bahwa dengan perkembangan zaman juga harus diikuti dengan pola konsumsi masyarakat. Masyarakat yang awalnya cukup mngkonsumsi puff dan pastry mainstream dikonstruksi dan diarahkan untuk mengkonsumsi barang – barang baru yang pada sejatinya adalah sama.
Produk Globalisasi
            Dengan adanya inovasi dari selebriti – selebriti tersebut menandakan bahwa globalisasi disebarluaskan melalui produk – produk kekinian. Tak hanya kota sebesar Surabaya dan Bandung, tetapi Manado, Cirebon, Bogor, dan Jambi pun tak luput dari virus bisnis ini. Menurut Bagong Suyanto (2014), globalisasi dapat dipahami sebagai proses superiorisasi dan penyebarluasan. Globalisasi jika dipahami dari segi superiorisasi, maka hal ini akan menjadi ancaman. Kehadiran produk – produk baru tersebut dapat mengancam eksistensi makanan tradisional beberpaa daerah karen atelah menggeser popularitas suatu produk sejarah. Namun jika dipahami sebagai penyebarluasan, maka globalisasi dilihat dari segi penyatuan secara homogenitas sehingga melahirkan gaya hidup baru, termasuk dalam perilaku konsumsi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi masyarakat pada era sekarang lebih ditekan dari aspek gaya hidup yang mengedepankan kekinian.
            Menurut Suyanto (2014:94), globalisasi sesungguhnya adalah refleksi dari dominasi dan kedigdayaan pengaruh negara maju dan kekuatan kapital yang makin mengglobal. Globalisasi telah menciptakan kapitalis – kapitalis baru di tanah air yang semula adalah selebriti yang kini mencoba masuk dalam dunia bisnis. Dengan tagline oleh – oleh kekinian, usaha ini merupakan cara – cara kapitalis global dalam mendongkrak sebuah usaha yang berurusan dengan gaya hidup. Ditambah dengan mudahnya masyarakat menerima hal – hal baru menjadikan upaya kapitalis baru ini berhasil memegang target. Adanya kue – kue yang dijual selebriti tersebut sesungguhnya merupakan turunan dari kue – kue modern yang bertolak belakang denga nama besar produk yang disandangnya. Misalnya adalah Jogja Scrummy, produk berupa kue dengan taburan meses, cokelat, keju, dan susu sangat bertolak belakang dengan identitas Yogyakarta yang terkenal akan jajanan khasnya. Begitu pula dengan produk kue kota lainnya. Hal ini selalu sama, hanya toppingnya saja yang membedakannya.
            Globalisasi telah berhasil merebak ke berbagai aspek termasuk dalam bisnis kuliner. Dengan berlakunya dampak – dampak globalisasi ke seluruh dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau masyarakat yang pro dan kontra maupun pengusaha dan penjual makanan tradisional harus mengakui bahwa kehadiran produk baru merupakan tantangan besar bagi mereka. Kehadiran kue – kue modern ini bukan hanya sebatas bentuk yang baru dan terbilang inovatif, tetapi kue – kue ini lebih mengarah pada budaya massa yang digandrungi oleh masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh penanaman pemahaman masyarakat digital yang terkoneksi dengan akses melalui media sosial para selebriti. Sehingga menurut Scholte (dalam Suyanto 2014), dampak globalisasi tak dapat dihindari sehingga muncullah homogenisasi, Amerikanisasi, dan gaya hidup konsumtif yang berlebih. Pada tataran ini, produk tidak hanya dikenl sebagai aktivitas ekonomi tetapi juga dalam bidang budaya. Dalam bidang budaya, globalisasi terbukti melahirkan homogenisasi atau sinkronisasi budaya. Berbagai subkultur, pranata tradisional dan kehidupan masyarakat lokal sering kali memudar ketika terjadi intervensi kekuatan global, baik dalam bentuk kekuatan ekonomi maupun invasi budaya (Suyanto, 2014:95).
            Penjabaran dari pemikiran Scholte tersebut antara lain adalah homogenisasi, Amerikanisasi dan bahasa Inggris, konsumerisme, dan media massa. Pada tahap homogenisasi, terlihat bahwa semua produk selebriti merupakan kue – kue modern yang terbuat dari bahan – bahan yang mainstream, seperti tepung gandum, tepung terigu, dan tepung – tepung lainnya. Hanya saja penampilannya yang dibuat berbeda. Surabaya snowcake dengan taburan gula halus, Jogja Scrummy dengan tekstur yang kasar, Makassar Baklave dengan roti yang dipanggang, dan Mamahke Jogja dengan roti yang disekat – sekat. Meski pun namanya berbeda karena menggunakan nama kota, tetapi proses pembuatan dan bahan dasar tetaplah sama, itu semua merupakan produk kue modern. Jika masyarakat awam diberi kue dan ditukar namanya, maka ia tak akan mengenali nama kue tersebut karena pada prinsipnya kue – kue ini merupakan produk homogen.
            Pada aspek Amerikanisasi dan bahasa Inggris, penggunaan nama produk menjadi daya tarik yang maksimal sehingga dapat membidik konsumen di era post modern seperti sekarang ini. Nama – nama seperti Patata, Makuta, Lamington, Napoleon, Strudle, Wifecake, dan beberapa nama lainnya merupakan nama asing yang disandangkan ke produk selebriti tersebut, sehingga muncul beberapa masyarakat yang kontra akan hal ini sebab mencatut sebuah nama kota tidaklah semudah itu dengan menambahkan aksentualisasi nama yang modern menggunakan bahasa asing. Di samping itu, pada aspek media massa, menjadi upaya dalam startegi pemasaran dan branding. Tak hanya selebritinya yang melakukan promosi dan akun sosial media mereka seperti instagram, tetapi produk – produk tersebut dibuatkan akun sendiri dan memiliki sekian banyak follower. Melalui akun media sosial ini, penciptaan image atau branding juga mudah dilakukan. Hal inilah yang menjadi perdebatan bebrapa pihak di timeline salah satu media sosial yang menyebutkan bahwa bisnis selebriti dijamin langsung laku dibandingkan dengan bisnis orang – orang biasa. Hal ini menunjukkan bahwa strategi branding yang diciptakan para selebriti sangatlah mudah dilakukan karena dengan mengusung nama mereka.
Penciptaan Masyarakat Konsumtif
            Di era sekarang ini, kebutuhan masyarakat tidak hanya apada spek sosial ekonomi dan beberpa kebutuhan yang dirasa mendesak. Akan tetapi keinginan masyarakat untuk menyuguhkan life style barunya menjadi dorongan utama dalam berperilaku konsumtif. Terkadang masyarakat tidak mempedulikan seberapa banyak pengeluaran yang dikerahkan hanya untuk pemenuhan kebituhan yang sifatnya menyenangkan diri atau psikologis. Namun pemenuhan ini tidak didorong oleh kebutuhan yang benar – benar dibutuhkan, tetapi lebih pada pemenuhan gaya hidup kekinian. Dengan hadirnya produk – produk yang dipromosikan lewat media massa yang semakin canggih, membuat mayarakat mudah untuk mendapatkan akses informasi yang dibangun oleh kapitalis untukmenciptakan sebuah perilaku baru dalam berkonsumsi. Instagram adalah media sosial yang efektif untuk mengubah pemikiran masyarakat karena media sosial ini memiliki pengikut yang banyak dan mayoritas pengguna smartphone di Indonesia memiliki instagram terutama kalangan muda dan menengah ke atas.
            Menurut Campbell (dalam Suyanto, 2014), secara populer, istilah masyatakat konsumsi ini menghasilkan implikasi bahwa masyarakat akan cenderung menyamakan level konsumsi yang tinggi dengan kesuksesan sosial dan kebahagiaan personal, dan karenanya mereka memilih konsumsi sebagai tujuan hidupnya. Masyaralat post modern tidak menilai suatu kebahagiaan apabila berhasil memnuhi kebutuhan hidupnya saja, tetapi lebih dari itu, keinginan hidup merupakan goal utama dalam sebuah pencapaian hidupnya. Hal ini pun seiring dengan pola pikir masyarakat yang dipengaruhi oleh kesadaran palsu yang dibangun oleh kapitalis untuk menggiring masyarakat untuk memenuhi kebutuhan life style. Pada awalnya, ciri masyarakat ekonomi lebih dititikberatkan pada sektor produksi barang dan jasa. Hal ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Tetapi pada saat ini masyarakat ekonomi atau yang disangkutpautkan dengan masyarakat post modern memiliki ciri yang berbeda. Masyarakat konsumen dalam pengertian teoritisi post modern atau post strukturalis adalah sebuah masyarakat yang cenderung diorganisasikan di seputar konsumsi ketimbang produksi barang dan jasa (Suyanto, 2014:107).
            Jones (dalam Suyanto 2014) mengatakan bahwa ciri terpenting dari era post modernitas adalah cara kerja dan produksi yang memberi jalan bagi konsumsi, baik sebagai perajut kohesi sosial maupun sebagai sumber identitas individu. Pada masyarakat post modern, yang terpenting bukanlah suatu nilai guna dan berapa uang yang harus dikeluarkan, akan tetapi bagaimana caranya ia dapat menampilkan diri sebagai status sosialnya. Masyarakat akan terkonstruksi sedemikian rupa dengan cara ini, apalagi cara – cara ini gencar diterapkan kapitalis untuk mengembangkan usahanya. Bagong Suyanto (2014) mengatakan bahwa konsumen di era post industrial umumnya selalu ditekan oleh dua hal, yaitu kebutuhan terus menerus untuk selalu berbelanja dan menunjukkan gaya hidup, dan perusahaan atau kekuatan industri komersial yang selalu memproduksi dan mendefinisikan bagaimana seseorang harus hidup dan tampil di tengah perkembangan zaman yang makin global dan post modern. Masyarakat post modern secara tidak sadar menjalani kehidupan yang telah tersimulakra. Ia tidak menyadari bahwa perubahan – perubahan yang terjadi dalam kehidupannya secara perlahan telah terdesain sedemikian rupa. Yang pada awalnya masyarakat cukup mengkonsumsi satu atau dua kue sekarang dengan hadirnya berbagai pilihan kue yang dikelola selebriti membuat masyarakat penasaran. Bagi ia yang tinggal di Surabaya tak hanya mencoba Surabaya Snowcake atau Surabaya Patata, tetapi sesekali ia berbelanja merasakan Bandung Makuta, Semarang Wifecake, dan kue lainnya.
            Menurut Jean Baudrillard (dalam Suyanto, 2014:109), konsumsi bukan dilihat sebagai kenikamatan atau kesenangan yang dilakukan masyarakat secara bebas dan rasional, melainkan sebagai sesuatu yang terlembagakan, yang dipaksakan kepada masyarakat, dan seolah merupakan suatu tugas yang tidak terhindarkan. Baudrillard menggambarkan bahwa masyarakat post modern tidak hanya memenuhi kebutuhannya dengan cara legal rasional dan kalkulatif yang kritis tetapi masyarakat yang lebih mementingkan posisi sosial budaya yang disimbolkan. Selain itu, kebutuhan masyarakat pada era sekarang lebih pada taraf dipaksakan, artinya masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya bukan karena keinginan sendiri secara murni tetapi telah tercampuradukkan oleh konstruksi pemikiran yang dibangun oleh kapitalis. Contoh nyatanya adalah tagline yang digunakan oleh beberapa produk termasuk produk selebriti ini. Tak hanya menawarkan dari segi fisik, tetapi segi linguistik diperlukan untuk mengambil customer agar senantiasa menjadi pelanggan setia. Pada intinya, tidak keren apabila tidak memenuhi kebutuhan yang sifatnya kekinian. Baudrillard pun menambahkan bahwa yang dikonsumsi masyarakat bukan terletak pada nilai guna, tetapi pada nilai tanda. Sebenarnya, tidak memilih mengkonsumsi produk selebriti dan lebih memilih kue tradisional bukan soal, tetapi karena telah terkonstruksi, tanpa disuruh pun masyarakat akan membeli produk kekinian tersebut. Anehnya, perilaku seperti ini sudah menjadi kebiasaan dan latah. Kapitalisme tidak hanya menciptakan sistem konsumsi yang terkontrol, tetapi juga perilaku konsumtif massal yang dapat dieksploitasi (Suyanto, 2014:110).
            Peran media massa dalam menggiring masyarakat untuk selalu mengikuti perkembangan bisnis selebriti tengah menjadi fokus terhangat. Setelah muncul satu atau dua nama selebriti, yang kemudian diikuti oleh selebriti lain, masyarakat seakan diajak menunggu untuk melihat siapa dalang selanjutnya dalam bisnis latah sosial ini. Media yang digunakan cukup instagram dan channel youtube kalu perlu untuk mengunggah postingan produk. Peran instagram saja sebenarnya sudah cukup untuk melakukan pemasaran dan branding. Apalagi di dalam instagram bukan hanya mengupload gambar dengan biasa dan apa adanya, tetapi lebih mengikuti dengan tren apa yang disebut sebagai bahasa desain yang memiliki penampilan menarik untuk mendapatkan konsumen baru. Adorno (dalam Suyanto, 2014) mengatakan bahwa kita hidup dalam suatu masyarakat komoditas, yakni masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang – barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit atau keuntungan. Adorno pun menambahkan bahwa batas antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan simulasi kenyataan menjadi baur akibat adanya peran media massa yang besar.
            Di era yang serba modern ini, kepuasan masyarakat telah tergantikan dari sektor tradisional ke sektor modern. Dalam hal ini selera makan pun turut mempengruhi. Masyarakat yang pada awalnya disuguhi oleh makanan atau oleh – oleh khas kini telah disuguhi dengan berbagai kue hasil bisnis para selebriti. Bakpia, lapis legit, peuyeum, pempek, lumpia, dan lain sebagainya tergantikan oleh kue – kue modern yang terbuat dari bahan yang sama dengan cita rasa yang hampir sama pula. Red velvet, matcha, cokelat, keju, adalah rasa – rasa yang sudah mainstream. Namun apa boleh buat, pergeseran budaya ini tak dapat dielakkan. Hal – hal semacam ini telah menggambarkan suatu produk yang telah terhomogenisasi dan termassalisasi. Kue – kue diciptakan secara seragam tetapi namanya saja yang berbeda, begitu pun dengan proses masak yang telah terstandar. Jika Bagong Suyanto (2014) dalam bukunya menjabarkan bahwa seragamimasi produk ditinjau dari kekuatan kapitalis menciptakan selera yang sama, baik di Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, bahkan di Surabaya sekali pun produk – produk yang ditawarkan juga sama. Akan tetapi, pada kasus kue selebriti ini proses homogenisasi terletak pada penanaman konstruksi kesadaran masyarakat bahwa oleh – oleh kekinian adalah berupa kue, dan itu merupakan produk bisnis selebriti. Tidak memperhatikan kota mana pun selera yang dibangun adalah selera kue modern.
            Di dalam perkembangan bisnis yang makin meluas saat ini, peran terbesarnya adalah adanya media massa. Mau tidak mau masyarakat digiring media massa untuk menjajaki kebudayaan baru yang bersifat lebih modern atau kekinian. Promosi yang gencar dan dengan bahasa desain yang menarik adalah strategi yang dibangun perusahaan untuk mendapatkan pelanggan. Di samping itu, nama besar selebriti menjadi komoditas pula yang turut menyumbang keberhasilan penjualan. Baru – baru ini beberapa selebriti pun memasang promo bagi pembeli, di antaranya adalah outlet milik Laudya Cintya Bella yang menawarkan kue gratis bagi pembeli yang memiliki nama Ramadhan karena berbarengan dengan bulan Ramadhan. Selain itu, Ria Ricis dan Oki Setiana Dewi menawarkan potongan harga 50% apabila pengguna sosial media merepost foto di akun Surabaya Patata dan menunjukkannya ke penjual. Hal ini adalah strategi yang digunakan para pemodal untuk meraup keuntungan. Tentu saja hal semacam ini juga sangat berbeda apabila penjual berasal dari bukan kalangan publik figur, memerlukan strategi yang lebih kuat untuk mendapatkan pelanggan. Jelas dan begitu nyata, bahwa keberhasilan industri kebudayaan diakui atau tidak memang sangat bergantung pada media massa (Suyanto, 2014:118).
Perilaku Masyarakat Konsumen
            Tak dapat dipungkiri bahwa selebriti – selebriti di tanah air kini sepertinya membentuk suatu persatuan atau aliansi para pebisnis. Ini dapat dilacak di akun instagram beberapa selebriti yang mengadakan foto bersama dengan hastag jannahcorp. Efeknya, masyarakat tak akan pernah puas mencoba satu kue saja, tetapi ia akan mencoba kue satu ke kue lain. Saat ini membeli Malang Strudle, besuk hari Surabaya Snowcake, mungkin lusa Palembang Justcake. Perilaku ini semacam dimotori bahwa tidak enak rasanya kalau belum bisa mencoba semuanya. Dalam Bagong Suyanto (2014:123), hal semacam ini disebut sebagai konsumsi sinergistik. Yang dimaskud konsumsi sinergistik adalah gabungan dari sekian banyak aktivitas leisure, hobi, dan perilaku keranjingan, seperti menonton filmya, membeli mainannya, membeli novelnya, memakai kostum, membeli dan bermain video game, dan menelusuri web interaktif. Pada kasus ini konsumsi sinergistik lebih dipengaruhi oleh banyaknya pilihan yang ditawarkan pada masyarakat.
            Perilaku konsumsi sinergistik dalam kasus ini memang sedikit berbeda dengan penjelasan Bagong Suyanto dalam bukunya (2014). Pada kasus ini melihat bagaimana beberapa selebriti bersatu mmebentuk suatu perkumpulan bisnis yang berbasis pada produksi kue. Terbukti betul, kehadiran Surabaya Snowcake menyita banyak perhatian publik. Hal ini diungkapkan oleh berbagai pihak yang megunggah foto kue tersebut ke akun instagram mereka. Pun disusul dengan kehadiran Surabaya Patata yang memberikan efek serupa. Belum lagi ini Surabaya Vidi Vini Vici yang akan segera beredar. Maka dari itu, kehadiran beberapa produk di berbagai aerah oleh kalangan selebriti telah menjadi komoditas baru yang berhasil msuk dalam persaingan bisnis kuliner modern.



Penutup
            Kue produksi dengan mengatasnamakan selebriti yang diproduksi dan dipasarkan di berbagai daerah di Indonesia telah memulai babak baru dalam jajanan khas oleh – oleh. Panganan yang diidentikkan dengan makanan kekinian tersebut berhasil menyita perhatian publik. Dengan hadirnya produk tersebut dapat disimpulkan bahwa : (a). Peran media dalam mendorong bisnis begitu besar, (b). Semua orang dapat menjalankan bisnis termasuk selebriti, (c). Kue – kue jajanan selebriti merupakan kue modern yang dimodifikasi dalam bentuk baru dan mengatasnamakan daerah asal.

Referensi

Suyanto, Bagong. 2014. Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi di Era        Masyarakat Post-Modernisme. Melbourne: Kencana Prenada Media Group.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pros and Cons about Full Day School

RESENSI NOVEL SPRING IN LONDON

Perang Dingin Antara Uni Soviet dan Amerika Serikat