TERNYATA, BULLYING MENYASAR MASYARAKAT YANG KURANG PAHAM PERPOLITIKAN
Betapa
tidak naik pitamnya Erma Elianti Yusnida yang diperlakukan tidak sewajarnya
oleh warga sekitarnya. Gadis 20 tahun asal Desa Tijayan Kecamatan Manisrenggo
Kabupaten Klaten Jawa Tengah seperti menelan pil pahit akibat pilihan kepala
desa beberapa bulan silam. Kabar berita bahwa Erma mendapatkan tindakan
bullying dari masyarakat sekitar menyeruak di berbagai lini masa. Ya, gadis ini
beserta keluarganya dikucilkan warga sekitarnya lantaran dituduh tidak
mendukung salah satu calon kepala desa.
Kasus
ini kian berbuntut panjang, keluarga Erma merasa terintimidasi oleh perlakuan
warga karena hak pilih yang berbeda. Sebenarnya, hak pilih merupakan hak asasi
bagi setiap warga negara. Terlebih di Indonesia, pesta demokrasi diselenggarakan
hingga tingkat terkecil yaitu desa. Pemilihan kepala desa pun sering kali
diwarnai kondisi yang memanas antarwarga hanya gara – gara prbedaan ‘selera’. Ini
pun diperparah dengan sistem sosial masyarakat desa yang masih sangat erat
sehingga sentimen antarwarga kerap kali terjadi. Pesta demokrasi yang hanya
beberapa hari berbuntut panjang ‘gak mari – mari’.
Diberitakan
pada berbagai media, Erma mengunggah foto surat keterangan dukungan yang
digalang oleh beberapa warga untuk mendukung cakades JL untuk menuju kursi 1. Jika
ditilik sebagai kampanye, sah – sah saja tetapi ini juga bisa menjadi hal yang
snagat sensitif karena dalam surat tersebut tertera bahwa warga yang tidak
memilih cakades JL akan dikenakan sanksi sosial yaitu pengucilan seperti warga
tidak akan datang ke undangan si pemilik hajatan yang tidak memilih JL. Hal ini
merupakan bentuk intimidasi yang dilancarkan oleh sebagian warga Tijayan agar
jagonya menang telak. Tak urung pula, surat dukungan ini juga dimuluskan
jalannya oleh beberapa pamong dan tokoh penting di desa tersebut. Perilaku masyrakat
Tijayan tersebut termasuk dalam kategori bullying. Menurut Dan Olweus, bullying
adalah bentuk – bentuk perilaku di mana terjadi pemaksaan atau usaha menyakiti
secara psikologis atau pun fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang
lebih ‘lemah’, oleh seseorang atau kelompok orang yang lebih kuat. Perlakuan yang
didapat Erma tak ubahnya sebagai pecutan warga yang mengedapankan egoisme.
Politik merupakan suatu
hal yang biasa selama ini di Indonesia. Terlebih saat ini proses pemilihan
pemimpin sudah berulang kali dilakukan. Sikap fanatisme masyarakat pun hanya seperti
euforia, layaknya mendukung tim sepak bola yang bertanding. Setelah pertandingan
usai, selayaknya yang menang bersyukur serta yang kalah menerima. Tetapi lain
halnya jika politik tidak dimaknai demikian, pada masyarakat yang masih
menganggap pemilu sebagai pesta raya terkadang berakibat fatal. Senggol sana
senggol sini, satru sana satru sini, hanya dilatarbelakangi sensi berbeda
pilihan hati. Ini menandakan bahwa kesadaran berpolitik masyarakat kita masih
sangat kurang.
Sejatinya,
menjatuhkan pilihan adalah hal yang wajar. Tetapi menjadi kurang wajar (pakai
w) jika menunjukkan itikad yang sangat tidak baik. Perbedaan yang ada masih
belum bisa diterima, ini menandakan bahwa masyarakat kita masih belum memiliki ‘hati’
demokrasi. Selain itu, integrasi masyarakat akan mudah pecah pada saat
pemilihan pimpinan, mudah saja bagi para tangan jahil untuk melancarkan
serangan kampanye hitam.
Tindakan
masyarakat yang membuat surat dan melancarkannya bisa dikatakan sebagai
intimidasi yang sangat agresif kepada korban. Bullying tidak hanya menimbulkan
resah dan ketakutan, justru depresi yang berkepanjangan. Lalu, apa salahnya
jika silang pilihan terjadi di tengah masyarakat, sehingga menimbulkan gejolak
demikian yang sangat ironis. Apalagi sejumlah warga yang mendukung melakukan
tindakan – tindakan yang sangat mengganggu untuk mengucilkan keluarga Erma. Bisa
dikatakan, tidak ada kerjaan selain mengacaukan kehidupan orang. Sistem sosial
masyarakat sepertinya masih dan akan menjadi hukum rimba, tak peduli siapa yang
disasar. Dia kecil, ya dia yang diserang. Kekurangpahaman akan perpolitikan
menyebabkan masyarakat mudah meluapkan emosi, padahal pesta demokrasi adalah
salah satu hal kecil kehidupan, tetapi jika sudah seperti ini telah membunuh
karakter masyarakat Indonesia yang humanis dan pluralis. Jika sudah seperti
ini, masihkah dibilang humanis?
Perpolitkan
sudah sebaiknya dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa. Fanatik boleh tetapi
jangan sampai fanatik itu mencederai orang lain hingga menyayat sistem sosial
yang ada. Pemilihan di Indonesia bersifat luber jurdil. Tetapi luber jurdil
tersebut bisa saja luntur jika disalahgunakan. Memilih pemimpin adalah hak
asasi manusia bagi seluruh warga negara, sehingga siapa pun tidak diperkenankan
ikut campur dalam masalah ini. Persoalan memilih X atau Y adalah kewenangan si
pemilih, jika ada pihak – pihak yang memprovokasi ini tidak bisa dibiarkan. Masalahnya,
provokator terkadang memiliki relasi kuasa yang sangat kuat sehingga mampu
menjadi magnet untuk calon pemimpin menuju kursi 1.
Bukti
bahwa masyarakat yang seperti ini adalah lemahnya sikap empati sesama warga. Tindakan
bullying sangat jauh dari kata tenggang rasa apalagi toleransi. Masyarakat yang
memaksakan kehendak bagi anggotanya dikatakan sama sekali intoleran. Ego yang
ada di dalam diri tidak bisa terbendung sehingga menyasar warga yang bisa
dikatakan lemah. Mengapa dikatakan lemah? Ini berkaitan lagi dengan relasi
kuasa, provokator memiliki relasi yang kuat sehingga hal ini bisa mempengaruhi
legitimasi kepemimpinan di desa tersebut. Akibatnya, sikap guyub dan tulus
ikhlas di antara masyarakat terhapuskan hanya karena silang selera calon kepala
desa. Sudah minim sekali simpati apalagi empati terhadap sesama pemilih. Di
samping itu, bullying masih saja dianggap hal remeh sehingga dibiarkan menjadi masalah
yang berlarut – larut yang berujung pada kebiasaan. Perlakuan warga yang
mengintimidasi Erma bisa dilihat sebagai pembiaran masalah dan berhasil
dijadikan rantai yang sulit diputus. Kebencian beberapa orang kepada keluarga
Erma menimbulkan kebencian serupa terhadap warga lain yang menghakimi keluarga
Erma secara sosial.
Selama
ini, bullying menjadi kajian yang serius terutama di bidang pendidikan. Kerap
kali siswa mengalami tindakan – tindakan bullying oleh lingkungannya. Kajian terhadap
bullying juga sudah membuahkan hasil yaitu undang – undang perlindungan anak. Lantas,
bagaimana jika bullying dilakukan oleh masyarakat ramai – ramai? Sepertinya
diperlukan penanganan khsusus yang ditujukan untuk membenahi kondisi masyarakat
yang demikian. Hal terpenting adalah pendidikan politik. Semakin tahun pemahaman
politik masyarakat Indonesia mudah untuk meningkat karena akses kepada media
yang sangat besar. Tetapi kondisi sosial masyarakat yaitu berupa sistem turut
berkecimpung. Masyarakat yang sangat fanatik khususnya, mudah sekali melebur ke
masyarakat lain sehingga tak sadar memunculkan gejolak panas pesta politik. Kasus
Desa Tijayan tersebut adalah representasi politik Indonesia yang ternyata
menjadi benang ruwet yang sudah seyogyanya diurai. Sikap – sikap intoleransi
yang berujung pada intimidasi perlu untuk diubah. Hal ini sangat mencederai
karakter bangsa Indonesia, dan tentunya mencederai politik praktis negeri ini. Desa
sebagai unit terkecil saja menjadi sarang intoleransi yang berkembang bagaimana
bila masalah sosial ini dibiarkan berkepanjangan?
Seperti
berita yang berkali – kali diturunkan, Erma Elianti Yusnida adalah warga Desa
Tijayan yang mendapati perlakuan warga yang mengucilkan dirinya. Pangkal masalah
ini adalah keluarga Erma yang dituduh tidak memilih JL sebagai kades. Warga setempat
membuat surat dukungan untuk JL yang di antaranya berisi sanksi sosial bagi
yang tidak memilihnya. Sementara keluarga Erma masih berkerabat dengan lawan JL
yaitu AP sehingga besar kemungkinan keluarga Erma memilih AP. Hal ini
diperparah dengan unggahan Erma yang berisi surat keterangan dukungan kepada JL
ke facebook. Keluarga Erma pun dikucilkan warga hingga ia menempuh jalur hukum
dengan melaporkan ketua RW, tokoh pemuda, dan beberpa ketua RT.
Lantas, siapa yang harus dibenarkan? Atau
justru dibenamkan?
Diriku, sepertinya warga remah – remah
yang B aja.
Sumber gambar : beritabojonegoro.com
Sumber gambar : beritabojonegoro.com
Komentar
Posting Komentar