DILEMATIS PRODUK KUE SELEBRITIS
Pendahuluan
Fenomena
merebaknya bisnis artis belakangan ini menjadi latah sosial yang menjangkiti
beberapa selebriti di tanah air. Tak hanya menunggangi popularitas sebagai
publik figur, sederet selebriti pun mencoba peruntungan di ranah lain yakni
pada ranah bisnis. Diawali pada kiprah Teuku Wisnu yang mempopulerkan Struddle
Malang yang menjadi ikon baru jajanan oleh – oleh Malang, kiprah Wisnu ini seakan
menjadi trending topic bagi selebriti lain. Beberapa nama selebriti pun muncul
dengan dagangannya. Di antara mereka adalah Laudya Cintya Bella, Irwansyah,
Zaskia Sungkar, Shireen Sungkar, Zaskia Adya Mecca, Dude Harlino, Glenn
Alinskie, Chelsea Olivia, dan baru – baru ini di Surabaya ada Ria Ricis featuring kakaknya, Okie Setiana Dewi.
Sumber gambar : hipwee.com
Bisnis
yang digelar oleh selebriti ini bisa dikatakan meraup untung yang tinggi.
Terbukti dengan membludaknya antrean pengunjung outlet produk yang
mengatasnamakan oleh – oleh kekinian tersebut menjadi suatu hal yang viral.
Promosi pun gencar dilakukan oleh sleebrti selaku yang memimpin dagangan.
Apalagi dengan dukungan sosial media berupa instagram dan menggunakan popularitas
nama menjadi pendompleng dalam berwirausaaha.
Berikut merupakan daftar nama produk
selebriti :
Nama
Selebriti
|
Nama
Produk
|
Irwansyah
|
Medan Napoleon
|
Irwansyah
|
Palembang Lamonde
|
Zaskia Sungkar
|
Surabaya Snowcake
|
Shireen Sungkar
|
Bogor Raincake
|
Teuku Wisnu
|
Strudle Malang
|
Laudya Chintya Bella
|
Bandung Makuta
|
Dude Harlino
|
Jogja Scrummy
|
Dude Harlino
|
Minang Nantigo
|
Glenn Alinskie
|
Pontianak Lamington
|
Chelsea Olivia
|
Semarang Wifecake
|
Indra Bekti
|
Cirebon Sultana
|
Zaskia Adya Mecca
|
MamahkeJogja
|
Irfan Hakim
|
Makassar Baklave
|
Ricky Harun
|
Makassar Bosang
|
Oki Setiana Dewi dan Ria Ricis
|
Surabaya Patata
|
Nagita Slavina
|
Gigi Eatcake
|
Prilly Latuconsina
|
Reallycake Khatulistiwa
|
Mikha Tambayong
|
Manado Milvil
|
Jessica Milla
|
Solo Pluffy
|
Ussy Sulistyowati
|
Cirebon Kelana
|
Ruben Onsu
|
Jambi Jambe
|
Anto Hoed dan Melly Goeslaw
|
Pekanbaru Justcake
|
Vidi Aldiano
|
Surabaya Vidi Vini Vici
|
Produk
yang ditawarkan oleh para selebriti tersebut mengusung tema yang sama, yakni
oleh – oleh khas kekinian. Harga yang dibandrol pun bukan harga yang terbilang
bisa dijangkau kalangan menengah ke bawah. Untuk satu produknya ditetapkan
harga sekitar enam puluh ribu rupiah. Hal ini menandakan bahwa pembeli rata –
rata adalah kalangan menengah dan ke atas. Selain itu, produk dagangan pun
berbahan dasar yang sama, untuk puff dan pastry. Jika oleh – oleh tradisional
berbahan baku khas dan tradisional pula, akan tetapi oleh – oleh yang
dipopulerkan ini telah mengalami modifikasi ke dalam bentuk baru, yakni kue dan
pastry. Oleh – oleh Yogyakarta misalnya, masyarakat telah mengenal bakpia sejak
lama sebagai penganan khas yang harus dibawa pulang dari Jogja. Akan tetapi,
masyarakat pada era sekarang akan teralihkan dari bakpia ke Jogja Scrummy atau
MamahkeJogja. Hal ini tak dapat dipungkiri bahwa promosi selebriti telah
mengubah konstruksi pemikiran masyarakat bahwa tidak asyik rasanya pulang dari
Jogja tanpa membawa oleh – oleh khas kekinian.
Dari
fenomena latah sosial tersebut, masyarakat rela antre berjam – jam dan
berdesakan demi sebuah makanan baru dari para selebriti. Belum lagi apabila
terdapat penawaran diskon 50% apabila pembeli dapat menunjukkan bukti repost di instagram. Hal ini justru
menambah rasa keegoan masyarakat untuk terus mengkonsumsi produk – produk baru
yang dirasa kekinian. Padahal bila dirujuk dari satu ke yang lainnya, terdapat
kemiripan yang sangat jelas di antara semua produk selebriti, terutama pada
bahan dasarnya. Sedangkan yang menjadi pembeda hanyalah rasa dan penampilannya
saja.
Pada
mulanya, masyarakat menyambut baik kehadiran produk kuliner selebriti yang
digawangi oleh Teuku Wisnu pertama kali. Namun lama kelamaan hal ini menjadi
latah sosial dan menyedot berbagai opini yang dikeluarkan masyarakat. Bukan
pada harga yang tinggi, akan tetapi lebih kepada keprihatinan bahwa popularitas
produk selebriti telah menggeser makanan khas suatu daerah. Pertama, produk
selebriti mencatut nama daerah. Nama Bandung Makuta, Surabaya Snowcake, Jogja
Scrummy dan beberapa produk lain hanyalah strategi pemasaran atau branding yang
dilakukan manajemen perusahaan. Selebihnya bukan seperti itu. Tidak ada sejarah
bahwa Bandung memiliki kue khas yang bernama Makuta dan begitu pula tidak ada
sejarah yang mengatakan bahwa produk pastry adalah makanan khas Yogyakarta. Hal
ini bisa dikatakan pencatutan nama, sebab makanan – makanan tersebut telah
berhasil menggeser kepopuleran bakpia dan peuyeum sebagai oleh – oleh kedua
kota besar tersebut. Yogyakarta yang sebelumnya dikenal sebagai kota bakpia,
kota gudeg, dan beberapa jajanan pasar khas Mataraman sudah bergeser ke Jogja
Scrummy dan Mamahke Jogja yang semakin melebarkan sayap. Selain itu, makanan
khas daerah pun pasti memiliki akar sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari
nama kota tersebut. Misalnya adalah Semarang, kota ini memiliki makanan khas
berupa lumpia yang telah dikenal luas masyarakat. Sejarah pun mencatat bahwa
lumpia merupakan akulturasi dari budaya Jawa dan China yang berkembang di
pesisir Semarang. Beda halnya dengan produk selebriti yang berupa kue, sejak
kapan Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, dan Bogor memiliki oleh
– oleh kue kekinian. Hal ini pun masih dipertanyakan.
Kedua,
hal yang terlihat jelas dari pencatutan nama tersebut adalah tidak mencerminkan
karakteristik kota. Kemunculan dari adanya produk – produk yang sangat laris
tersebut didorong oleh keinginan bisnis yang dengan sengaja membawa nama kota
sebagai pembesar sebuah produk. Oleh – oleh kekinian tersebut tidak ada
kaitannya sama sekali dengan kota yang ‘dihinggapi’. Puff dan pastry serta rasa
– rasa yang disajikan seperti matcha, cokelat, red velvet, keju, dan banana
sama sekali tidak mencerminkan nama sebuah daerah. Hal ini sedikit berbeda
dengan Strudle Malang yang menggunakan apel Malang yang merupakan produk khas
Kota Malang. Akan tetapi sejumlah produk lain tidak ikut serta memberdayakan
potensi lokal suatu daerah yang diklaim sebagai tempat dagangannya.
Ketiga,
kehadiran makanan kekinian ini menyaingi produk lokal. Eksistensi beberapa
makanan khas yang telah ada sejak puluhan tahun lalu akan mudah tergeser popularitasnya
dengan produk baru. Bukan hanya pada segi rasa dan penampilannya, masyarakat
terkonstruksi untuk membeli produk tersebut oleh karena didiorong rasa
penasaran akan hal baru, dan kue – kue tersebut merupakan produk selebriti. Hal
ini menunjukkan bahwa jajanan baru dapat tergolong dalam produk industri budaya
masa atau budaya populer karena dengan branding yang mudah sehingga cepat
dikenal masyarakat.
Keempat, bahan baku
dari jajanan selebriti adalah bahan baku kue. Produk jajanan selebriti ini
memang dikenal dengan produk puff dan pastry. Hampir semua produk selebriti
berupa kuliner modern. Hal ini juga bertolak belakang dengan nama kota yang
disandang sebagai alternatif oleh – oleh. Surabaya, Bandung, Yogyakarta,
Pontianak, Semarang, dan beberapa kota lain memiliki makanan tradisional yang
berbeda dan berbahan dasar berbeda pula. Namun produk jajanan selebriti bahan
dasarnya adalah sama, begitu juga rasanya. Hanya pada sekitar cokelat, keju,
red velvet, matcha, dan beberapa varian rasa modern yang sudah dikenal publik. Sedangkan
lapis legit, bakpia, peuyeum, dodol, memiliki cita rasa yang berbeda, bentuknya
pun berbeda pula, sehingga orang dengan mudah mengenalinya. Berbeda dengan
jajanan kekinian tersebut, oleh karena memiliki bahan baku yang sama, bentuk
yang hampir sama, rasa yang hampir sama pula, hanya saja penampilannya yang
berbeda, masyarakat mungkin tidak terlalu hafal dengan nama – nama jajan
kekinian tersebut. Apabila dipertukarkan pun orang akan mengira bahwa Baklave
adalah dari Pontianak, dan Patata berasal dari Yogyakarta.
Kelima, adalah strategi
branding yang sangat mudah. Untuk terjun dan memulai usaha bisnis, diperlukan
upaya khusus agar perusahaan tetap berjalan, begitu pula pada produknya. Salah
satunya adalah strategi pemasaran dengan cara branding. Branding merupakan
upaya penciptaan image suatu produk
atau hal supaya dikenal khalayak luas. Branding tidak hanya pada sebuah kota,
perusahaan manufaktur, pelayanan publik, tetapi juga pada produk kuliner. Untuk
menghasilkan output dan outcome yang baik maka diperlukan upaya pemasaran dan
branding yang luas. Tetapi hal ini sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan
produk – produk selebriti. Selebriti tak perlu menyusun dan melakukan branding
dan pemasaran yang kuat untuk sebuah promosi yang maksimal, tetapi cukup
menggunakan nama kebesarannya sebgaai seorang publik figur saja, itu dapat
mendorong dan mendompleng usaha barunya. Setiap selebriti memiliki akun media
sosial seperti instagram, snapchat, official account line, youtube, dan
beberapa media sosial lainnya. Hal ini digunakan sebagai upaya branding dan
memasarkan produk dengan memgandalkan follower yang sudah banyak. Maka tak
heran apabila produk selebriti lebih cepat laku dibanding produk baru lainnya.
Selebriti cukup mengunggah foto dan deskripsi produk di media sosial maka
pengunjung outlet pun bertambah dan mengantre berdesakan. Hal ini tidak akan
pernah terjadi pada jenis usaha yang dikembangkan oleh masyarakat yang tidak
memiliki popularitas. Hasil akan nihil apabila hanya mengandalkan kekuatan media
sosial dan membranding dengan cara seadanya.
Analisis
dan Pembahasan
Konsumsi
Sosial Budaya
Mengkonsumsi
suatu barang baru adalah hal yang selalu dinanti – nanti publik setelah adanya
promosi di media massa. Hal ini berlaku pada masyarakat post modern yang selalu
ingin mencoba dan mencoba. Masyarakat akan tergiur oleh hal – hal yang dinilau
prestise, indah, dan memiliki nilai tersendiri. Hal ini berlaku pada konsumsi
produk selebriti. Orang tidak akan berpikir panjang untuk membeli sekotak kue
yang harganya di atas enam puluh ribu rupiah dan mengantre sepersekian antrean
yang begitu panjang..
Promosi
yang dikeluarkan oleh manajemen berhasil mendulang keuntungan dari ketertarikan
masyarakat. Dengan penampilan kue yang terbilang sudah mainstream, pun dengan rasanya, namun masyarakat dapat masuk dalam
dunia simulakra. Masyarakat akan rela mengantre berjam – jam demi sebuah kue.
Soal harga pun, masyarakat juga akan berani merogoh kocek yang tak seberapa.
Bukan hanya pada pembelian satu atau dua kotak, masyarakat rela membeli
berkotak – kotak roti karena anggapan mengikuti kekinian. Hal ini dinilai
sebagai tindkaan di luar rasional. Bagaimana mungkin masyarakat dapat mau
melakukan pengorbanan besar demi sebuah kue, namun ini berbeda dengan
realitanya. Aktivitas ekonomi bukanlah realitas sosial yang soliter dan hanya
berkaitan dengan transaksi jual beli barang yang menekankan untung rugi semata,
melainkan di dlaamnya juga bertali temali dengan aspek – aspek budaya sosial yang
kompleks (Suyanto, 2014:12).
Jika
diamati lebih mendalam, apalah arti sebuah rasa dan nilai guna sebuah barang,
apalagi sebuah kue. Namun promosi dari suatu produk dapat pula memberikan
pemikiran baru bagi orang lain. Promosi yang begitu gencar dilaukan dengan
membawa embel – embel nama selebriti jelas dapat mendompleng untung yang luar biasa.
Sebut saja outlet roti nasional yang tersebar di beberapa kota, ia tak sampai
sebegitu ramainya jika dibandingkan dengan outlet kue selebriti. Padahal
promosi dan iklan yang berturut – turut juga dilakukan. Tetapi letak dari
kelemahan promosi adalah kurang memikat konstruksi pemikiran masyarakat, begitu
pula dengan cara brandingnya. Hal ini mempengaruhi pola pemikiran masyarakat
dari yang awlanya memilih suatu produk diukur dari sebuah nilai guna dan nilai
tukar, tetapi jika ditelisik dari kasus ini, akan keluar dari zona yang
dimaksud.
Tak
selamanya bahwa pemikiran masyarakat terhadap kegiatan ekonomi pada basis
untung dan rugi. Jika ditinjau dari hal ini, konsumen akan mengalami beberapa kerugian.
Di antaranya adalah kue yang harganya terbilang mahal untuk kalangan menengah
ke bawah, antrean yang snagat panjang, dan upaya yang harus ditempuh apabila
ingin mendapatkan bonus gratisan atau menggunakan promo. Sebenarnya wajar saja
jika terdapat hal yang diinginkan konsumen. Apabila merujuk pada pemikiran Adam
Smith, hal ini snagat kontradiktif. Smith menyoroti perilaku ekonomi bergantung
pada pertimbangan untung rugi. Hal ini juga yang terjadi pada ekonomi
universal. Pembeli dan penjual akan memikirkan cara bagaimana dapat meraup
untung dan memperkecil pengeluaran demi sebuah barang dan kepuasan. Tetapi
masyarakat sudah bergeser realita pada yang seharusnya. Pandangan seperti ini
tak berlaku apabila bersentuhan dengan masyarakat psot modern. Masyarakat yang
menginginkan hal baru, meningkatkan prestise, dinilai kekinian, akan
memanfaatkan situasi dan menggunakan segala cara untuk menunjang penampilan dan
gaya hidupnya. Apabila teori – teori dalam ekonomi membahas masalah untung dan
rugi, hal ini berbeda dengan yang diutarakan oleh Bagong Suyanto (2014) dalam
bukunya, bahwa sosiologi ekonomi meyakini perilaku manusia acap kali justru
tidak hanya mempertimbangkan untung rugi, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana konstruksi sosial masyarakat yang bersangkutan dalam memandang arti
penting atau fungsi sebuah barang dan jasa. Kue – kue selebriti ini tidak
dipandang sebagai makanan pengganjal rasa lapar atau pada taraf pemenuhan
kebutuhan saja, tetapi hal ini berkaitan dengan perilaku masyarakat post
modern. Membeli Surabaya Patata, Jogja Scrummy, Bandung Makuta, adalah untuk
menunjang cara dia keluar dari zona biasa. Lalu masyarakat akan terkesan lebih
kekinian atau modern apabila mengunggah sebuah foto kue tersebut ke akun media
sosialnya dengan mention ke akun produk tersebut.
Produksi
sebuah komoditas awalnya untuk dijual ke pasar dan untuk di konsumsi konsumen
adalah tujuan utama. Namun pada saat ini komoditas menjadi sebuah hal penting
dalam dunai ekonomi. Komoditas dianggap sebagai hal yang harus dpaat diraih.
Tak peduli dmegan berbagai pengorbanan yang dilalui. Hal ini bisa dilihat dari
panjangnya antrean di oulet Surabaya Patata jalan Dharmahusada Surabaya,
antrean terlihat mengular dan pengunjung outlet begitu sabar menunggu antrean.
Hanya demi kue sekotak atau beberapa kotak, pengunjung rela berjam – jam
mendapatkan kue tersebut. Meskipun disediakan tempat antrean yang teduh oleh
atap, tetapi udara panas Surabaya dapat mengakibatkan kebosanan menunggu
antrean. Dari sini, dapat diketahui bahwa komoditas bukan lagi sebatas baramg
biasa, ia layaknya dewa yang dipuja dan didapatkan dnegan pengorabnan cara –
cara. Pemikiran ini diproduksi oleh Karl Marx yang menilai bahwa komoditas pada
era kapitalisme bukan hanya terletak pada nilai guna, tetapi komoditas sengaja
dihasilkan untuk dijual ke pasar, produk – produk tersebut tidak hanya memiliki
nilai guna, namun juga memiliki nilai tukar (Suyanto, 2014:18).
Menurut
Marx, perilaku – perilaku tersebut disebut sebagai feteshism of comodity atau pemberhalaan komoditas. Marx menyebut
bahwa masyarakat memperlakukan komoditas sebagai layaknya dewa yang dipuja –
puja. Dengan segala cara, masyarakat terkonstruksi untuk membeli produk yang
senyatanya tidak terlalu ia butuhkan. Tetapi dengan cara – cara kapitalis
mengembangkan pola pemikiran masyarakat, maka dengan mudah masyarakat akan
memiliki konstruksi pemikiran yang mengarah pada pemberhalaan komoditas.
Komoditas – komoditas ini snegaja diburu dan dicari agar dinilai lebih
kekinian. Belum lagi apabila outlet memberlakukan promo baru gratis atau diskon
lima puluh persen untuk empat puluh pengunjung pertama, sudah jelas masyarakat
akan datang lebih awal untuk melakukan pembelian. Ujung – ujungnya kehadiran
produk – produk ini akan melahirkan fanatisme yang luar biasa dan akan memunculkan
pola konsumsi yang berlebihan.
Ranah
permainan kapitalisme pada era post modern bukan lagi menuju pada eksploitasi
pekerja atau buruh tetapi pada eksploitasi konsumen. Untuk sebuah alasan meraup
keuntungan, bukan lagi pada produksi yang besar dengan menjangkau semua
keuntungan yang dilimpahkan pada peran buruh. Ritzer mengatakan bahwa pada era
post modern seperti ini, kapitalis memberlakukan segala cara untuk mengikat
konsumen. Hal ini disadari atau tidak bahwa peran konsumen sangat besar dalam
sebuah peruntungn bisnis. Ritzer (dalam Suyanto 2014) menyebutkan bahwa ada dua
pergeseran ekonomi kapitalis pada masyarakat post modern, yaitu pergeseran
produksi ke konsumsi dan pengeksploitasian pekerja ke konsumen. Kedua indikator
ini sangat jelas dilihat pada era sekarang bagaimana kapitalis memegang kendali
atas perilaku konsumsi masyarakat. Jika sosiologi ekonomi pada awalnya membahas
pada basis produksi, namun saat ini hal yang relevan dikaji adalah masalah
konsumsi. Dapat dilihat pada bebrapa perusahaan baik barang maupun jasa, telah
mengalami pergeseran yang signifikan. Kue – kue diproduksi dengan cara yang
terstandar dan biasa dalam hal ini juga semua pabrik – pabrik kue juga
menerapkan hal yang sama. Namun hal pembedanya adalah meraih kepercayaan customer. Untuk mendapatkan pelanggan
diperlukan usaha yang benar – benar tepat dan maksimal. Termasuk dalam bisnis
kue selebriti ini, pemasaran kue pun lebih mudah dilakukan dengan membawa nama
publik figur yang bersangkutan untuk mengkonstruksi pemikiran masyarakat atau
konsumen. Selain iu, seperti yang diutarakan Ritzer, kiprah kapitalis juga
menggeser eksploitasi pekerja ke eksploitasi konsumen. Dengan segala cara
branding, pihak manajemen perusahaan berupaya mendorong pemikiran masyarakat
untuk mengkonsumsi barang – barang yang dinilai kekinian dan sesuai dengan zaman.
Kapitalis pun merekayasa sedemikian rupa bahwa dengan perkembangan zaman juga
harus diikuti dengan pola konsumsi masyarakat. Masyarakat yang awalnya cukup
mngkonsumsi puff dan pastry mainstream dikonstruksi dan diarahkan untuk
mengkonsumsi barang – barang baru yang pada sejatinya adalah sama.
Produk
Globalisasi
Dengan
adanya inovasi dari selebriti – selebriti tersebut menandakan bahwa globalisasi
disebarluaskan melalui produk – produk kekinian. Tak hanya kota sebesar
Surabaya dan Bandung, tetapi Manado, Cirebon, Bogor, dan Jambi pun tak luput
dari virus bisnis ini. Menurut Bagong Suyanto (2014), globalisasi dapat
dipahami sebagai proses superiorisasi dan penyebarluasan. Globalisasi jika dipahami
dari segi superiorisasi, maka hal ini akan menjadi ancaman. Kehadiran produk –
produk baru tersebut dapat mengancam eksistensi makanan tradisional beberpaa
daerah karen atelah menggeser popularitas suatu produk sejarah. Namun jika
dipahami sebagai penyebarluasan, maka globalisasi dilihat dari segi penyatuan
secara homogenitas sehingga melahirkan gaya hidup baru, termasuk dalam perilaku
konsumsi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi masyarakat
pada era sekarang lebih ditekan dari aspek gaya hidup yang mengedepankan
kekinian.
Menurut
Suyanto (2014:94), globalisasi sesungguhnya adalah refleksi dari dominasi dan
kedigdayaan pengaruh negara maju dan kekuatan kapital yang makin mengglobal. Globalisasi
telah menciptakan kapitalis – kapitalis baru di tanah air yang semula adalah
selebriti yang kini mencoba masuk dalam dunia bisnis. Dengan tagline oleh –
oleh kekinian, usaha ini merupakan cara – cara kapitalis global dalam
mendongkrak sebuah usaha yang berurusan dengan gaya hidup. Ditambah dengan
mudahnya masyarakat menerima hal – hal baru menjadikan upaya kapitalis baru ini
berhasil memegang target. Adanya kue – kue yang dijual selebriti tersebut
sesungguhnya merupakan turunan dari kue – kue modern yang bertolak belakang
denga nama besar produk yang disandangnya. Misalnya adalah Jogja Scrummy,
produk berupa kue dengan taburan meses, cokelat, keju, dan susu sangat bertolak
belakang dengan identitas Yogyakarta yang terkenal akan jajanan khasnya. Begitu
pula dengan produk kue kota lainnya. Hal ini selalu sama, hanya toppingnya saja
yang membedakannya.
Globalisasi
telah berhasil merebak ke berbagai aspek termasuk dalam bisnis kuliner. Dengan
berlakunya dampak – dampak globalisasi ke seluruh dunia termasuk Indonesia, mau
tidak mau masyarakat yang pro dan kontra maupun pengusaha dan penjual makanan
tradisional harus mengakui bahwa kehadiran produk baru merupakan tantangan
besar bagi mereka. Kehadiran kue – kue modern ini bukan hanya sebatas bentuk
yang baru dan terbilang inovatif, tetapi kue – kue ini lebih mengarah pada
budaya massa yang digandrungi oleh masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh
penanaman pemahaman masyarakat digital yang terkoneksi dengan akses melalui
media sosial para selebriti. Sehingga menurut Scholte (dalam Suyanto 2014),
dampak globalisasi tak dapat dihindari sehingga muncullah homogenisasi,
Amerikanisasi, dan gaya hidup konsumtif yang berlebih. Pada tataran ini, produk
tidak hanya dikenl sebagai aktivitas ekonomi tetapi juga dalam bidang budaya.
Dalam bidang budaya, globalisasi terbukti melahirkan homogenisasi atau
sinkronisasi budaya. Berbagai subkultur, pranata tradisional dan kehidupan
masyarakat lokal sering kali memudar ketika terjadi intervensi kekuatan global,
baik dalam bentuk kekuatan ekonomi maupun invasi budaya (Suyanto, 2014:95).
Penjabaran
dari pemikiran Scholte tersebut antara lain adalah homogenisasi, Amerikanisasi
dan bahasa Inggris, konsumerisme, dan media massa. Pada tahap homogenisasi,
terlihat bahwa semua produk selebriti merupakan kue – kue modern yang terbuat
dari bahan – bahan yang mainstream, seperti tepung gandum, tepung terigu, dan
tepung – tepung lainnya. Hanya saja penampilannya yang dibuat berbeda. Surabaya
snowcake dengan taburan gula halus, Jogja Scrummy dengan tekstur yang kasar,
Makassar Baklave dengan roti yang dipanggang, dan Mamahke Jogja dengan roti
yang disekat – sekat. Meski pun namanya berbeda karena menggunakan nama kota,
tetapi proses pembuatan dan bahan dasar tetaplah sama, itu semua merupakan
produk kue modern. Jika masyarakat awam diberi kue dan ditukar namanya, maka ia
tak akan mengenali nama kue tersebut karena pada prinsipnya kue – kue ini
merupakan produk homogen.
Pada
aspek Amerikanisasi dan bahasa Inggris, penggunaan nama produk menjadi daya
tarik yang maksimal sehingga dapat membidik konsumen di era post modern seperti
sekarang ini. Nama – nama seperti Patata, Makuta, Lamington, Napoleon, Strudle,
Wifecake, dan beberapa nama lainnya merupakan nama asing yang disandangkan ke
produk selebriti tersebut, sehingga muncul beberapa masyarakat yang kontra akan
hal ini sebab mencatut sebuah nama kota tidaklah semudah itu dengan menambahkan
aksentualisasi nama yang modern menggunakan bahasa asing. Di samping itu, pada
aspek media massa, menjadi upaya dalam startegi pemasaran dan branding. Tak hanya
selebritinya yang melakukan promosi dan akun sosial media mereka seperti
instagram, tetapi produk – produk tersebut dibuatkan akun sendiri dan memiliki
sekian banyak follower. Melalui akun media sosial ini, penciptaan image atau
branding juga mudah dilakukan. Hal inilah yang menjadi perdebatan bebrapa pihak
di timeline salah satu media sosial yang menyebutkan bahwa bisnis selebriti
dijamin langsung laku dibandingkan dengan bisnis orang – orang biasa. Hal ini
menunjukkan bahwa strategi branding yang diciptakan para selebriti sangatlah
mudah dilakukan karena dengan mengusung nama mereka.
Penciptaan
Masyarakat Konsumtif
Di
era sekarang ini, kebutuhan masyarakat tidak hanya apada spek sosial ekonomi
dan beberpa kebutuhan yang dirasa mendesak. Akan tetapi keinginan masyarakat
untuk menyuguhkan life style barunya menjadi dorongan utama dalam berperilaku
konsumtif. Terkadang masyarakat tidak mempedulikan seberapa banyak pengeluaran
yang dikerahkan hanya untuk pemenuhan kebituhan yang sifatnya menyenangkan diri
atau psikologis. Namun pemenuhan ini tidak didorong oleh kebutuhan yang benar –
benar dibutuhkan, tetapi lebih pada pemenuhan gaya hidup kekinian. Dengan
hadirnya produk – produk yang dipromosikan lewat media massa yang semakin
canggih, membuat mayarakat mudah untuk mendapatkan akses informasi yang
dibangun oleh kapitalis untukmenciptakan sebuah perilaku baru dalam
berkonsumsi. Instagram adalah media sosial yang efektif untuk mengubah
pemikiran masyarakat karena media sosial ini memiliki pengikut yang banyak dan
mayoritas pengguna smartphone di Indonesia memiliki instagram terutama kalangan
muda dan menengah ke atas.
Menurut
Campbell (dalam Suyanto, 2014), secara populer, istilah masyatakat konsumsi ini
menghasilkan implikasi bahwa masyarakat akan cenderung menyamakan level
konsumsi yang tinggi dengan kesuksesan sosial dan kebahagiaan personal, dan
karenanya mereka memilih konsumsi sebagai tujuan hidupnya. Masyaralat post
modern tidak menilai suatu kebahagiaan apabila berhasil memnuhi kebutuhan
hidupnya saja, tetapi lebih dari itu, keinginan hidup merupakan goal utama dalam sebuah pencapaian
hidupnya. Hal ini pun seiring dengan pola pikir masyarakat yang dipengaruhi
oleh kesadaran palsu yang dibangun oleh kapitalis untuk menggiring masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan life style. Pada
awalnya, ciri masyarakat ekonomi lebih dititikberatkan pada sektor produksi
barang dan jasa. Hal ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Tetapi pada
saat ini masyarakat ekonomi atau yang disangkutpautkan dengan masyarakat post
modern memiliki ciri yang berbeda. Masyarakat konsumen dalam pengertian
teoritisi post modern atau post strukturalis adalah sebuah masyarakat yang
cenderung diorganisasikan di seputar konsumsi ketimbang produksi barang dan
jasa (Suyanto, 2014:107).
Jones
(dalam Suyanto 2014) mengatakan bahwa ciri terpenting dari era post modernitas
adalah cara kerja dan produksi yang memberi jalan bagi konsumsi, baik sebagai
perajut kohesi sosial maupun sebagai sumber identitas individu. Pada masyarakat
post modern, yang terpenting bukanlah suatu nilai guna dan berapa uang yang
harus dikeluarkan, akan tetapi bagaimana caranya ia dapat menampilkan diri
sebagai status sosialnya. Masyarakat akan terkonstruksi sedemikian rupa dengan
cara ini, apalagi cara – cara ini gencar diterapkan kapitalis untuk
mengembangkan usahanya. Bagong Suyanto (2014) mengatakan bahwa konsumen di era
post industrial umumnya selalu ditekan oleh dua hal, yaitu kebutuhan terus
menerus untuk selalu berbelanja dan menunjukkan gaya hidup, dan perusahaan atau
kekuatan industri komersial yang selalu memproduksi dan mendefinisikan
bagaimana seseorang harus hidup dan tampil di tengah perkembangan zaman yang
makin global dan post modern. Masyarakat post modern secara tidak sadar
menjalani kehidupan yang telah tersimulakra. Ia tidak menyadari bahwa perubahan
– perubahan yang terjadi dalam kehidupannya secara perlahan telah terdesain
sedemikian rupa. Yang pada awalnya masyarakat cukup mengkonsumsi satu atau dua
kue sekarang dengan hadirnya berbagai pilihan kue yang dikelola selebriti
membuat masyarakat penasaran. Bagi ia yang tinggal di Surabaya tak hanya
mencoba Surabaya Snowcake atau Surabaya Patata, tetapi sesekali ia berbelanja
merasakan Bandung Makuta, Semarang Wifecake, dan kue lainnya.
Menurut
Jean Baudrillard (dalam Suyanto, 2014:109), konsumsi bukan dilihat sebagai
kenikamatan atau kesenangan yang dilakukan masyarakat secara bebas dan
rasional, melainkan sebagai sesuatu yang terlembagakan, yang dipaksakan kepada
masyarakat, dan seolah merupakan suatu tugas yang tidak terhindarkan.
Baudrillard menggambarkan bahwa masyarakat post modern tidak hanya memenuhi
kebutuhannya dengan cara legal rasional dan kalkulatif yang kritis tetapi masyarakat
yang lebih mementingkan posisi sosial budaya yang disimbolkan. Selain itu,
kebutuhan masyarakat pada era sekarang lebih pada taraf dipaksakan, artinya
masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya bukan karena keinginan sendiri secara
murni tetapi telah tercampuradukkan oleh konstruksi pemikiran yang dibangun
oleh kapitalis. Contoh nyatanya adalah tagline yang digunakan oleh beberapa
produk termasuk produk selebriti ini. Tak hanya menawarkan dari segi fisik,
tetapi segi linguistik diperlukan untuk mengambil customer agar senantiasa
menjadi pelanggan setia. Pada intinya, tidak keren apabila tidak memenuhi
kebutuhan yang sifatnya kekinian. Baudrillard pun menambahkan bahwa yang
dikonsumsi masyarakat bukan terletak pada nilai guna, tetapi pada nilai tanda.
Sebenarnya, tidak memilih mengkonsumsi produk selebriti dan lebih memilih kue
tradisional bukan soal, tetapi karena telah terkonstruksi, tanpa disuruh pun
masyarakat akan membeli produk kekinian tersebut. Anehnya, perilaku seperti ini
sudah menjadi kebiasaan dan latah. Kapitalisme tidak hanya menciptakan sistem
konsumsi yang terkontrol, tetapi juga perilaku konsumtif massal yang dapat
dieksploitasi (Suyanto, 2014:110).
Peran
media massa dalam menggiring masyarakat untuk selalu mengikuti perkembangan
bisnis selebriti tengah menjadi fokus terhangat. Setelah muncul satu atau dua
nama selebriti, yang kemudian diikuti oleh selebriti lain, masyarakat seakan
diajak menunggu untuk melihat siapa dalang selanjutnya dalam bisnis latah
sosial ini. Media yang digunakan cukup instagram dan channel youtube kalu perlu
untuk mengunggah postingan produk. Peran instagram saja sebenarnya sudah cukup
untuk melakukan pemasaran dan branding. Apalagi di dalam instagram bukan hanya
mengupload gambar dengan biasa dan apa adanya, tetapi lebih mengikuti dengan
tren apa yang disebut sebagai bahasa desain yang memiliki penampilan menarik
untuk mendapatkan konsumen baru. Adorno (dalam Suyanto, 2014) mengatakan bahwa
kita hidup dalam suatu masyarakat komoditas, yakni masyarakat yang di dalamnya berlangsung
produksi barang – barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan
manusia, tetapi demi profit atau keuntungan. Adorno pun menambahkan bahwa batas
antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan simulasi kenyataan menjadi baur
akibat adanya peran media massa yang besar.
Di
era yang serba modern ini, kepuasan masyarakat telah tergantikan dari sektor
tradisional ke sektor modern. Dalam hal ini selera makan pun turut mempengruhi.
Masyarakat yang pada awalnya disuguhi oleh makanan atau oleh – oleh khas kini
telah disuguhi dengan berbagai kue hasil bisnis para selebriti. Bakpia, lapis
legit, peuyeum, pempek, lumpia, dan lain sebagainya tergantikan oleh kue – kue
modern yang terbuat dari bahan yang sama dengan cita rasa yang hampir sama
pula. Red velvet, matcha, cokelat, keju, adalah rasa – rasa yang sudah
mainstream. Namun apa boleh buat, pergeseran budaya ini tak dapat dielakkan.
Hal – hal semacam ini telah menggambarkan suatu produk yang telah
terhomogenisasi dan termassalisasi. Kue – kue diciptakan secara seragam tetapi
namanya saja yang berbeda, begitu pun dengan proses masak yang telah
terstandar. Jika Bagong Suyanto (2014) dalam bukunya menjabarkan bahwa
seragamimasi produk ditinjau dari kekuatan kapitalis menciptakan selera yang
sama, baik di Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, bahkan di Surabaya sekali
pun produk – produk yang ditawarkan juga sama. Akan tetapi, pada kasus kue
selebriti ini proses homogenisasi terletak pada penanaman konstruksi kesadaran
masyarakat bahwa oleh – oleh kekinian adalah berupa kue, dan itu merupakan
produk bisnis selebriti. Tidak memperhatikan kota mana pun selera yang dibangun
adalah selera kue modern.
Di
dalam perkembangan bisnis yang makin meluas saat ini, peran terbesarnya adalah
adanya media massa. Mau tidak mau masyarakat digiring media massa untuk
menjajaki kebudayaan baru yang bersifat lebih modern atau kekinian. Promosi
yang gencar dan dengan bahasa desain yang menarik adalah strategi yang dibangun
perusahaan untuk mendapatkan pelanggan. Di samping itu, nama besar selebriti
menjadi komoditas pula yang turut menyumbang keberhasilan penjualan. Baru –
baru ini beberapa selebriti pun memasang promo bagi pembeli, di antaranya
adalah outlet milik Laudya Cintya Bella yang menawarkan kue gratis bagi pembeli
yang memiliki nama Ramadhan karena berbarengan dengan bulan Ramadhan. Selain
itu, Ria Ricis dan Oki Setiana Dewi menawarkan potongan harga 50% apabila pengguna
sosial media merepost foto di akun Surabaya Patata dan menunjukkannya ke
penjual. Hal ini adalah strategi yang digunakan para pemodal untuk meraup
keuntungan. Tentu saja hal semacam ini juga sangat berbeda apabila penjual
berasal dari bukan kalangan publik figur, memerlukan strategi yang lebih kuat
untuk mendapatkan pelanggan. Jelas dan begitu nyata, bahwa keberhasilan
industri kebudayaan diakui atau tidak memang sangat bergantung pada media massa
(Suyanto, 2014:118).
Perilaku
Masyarakat Konsumen
Tak
dapat dipungkiri bahwa selebriti – selebriti di tanah air kini sepertinya
membentuk suatu persatuan atau aliansi para pebisnis. Ini dapat dilacak di akun
instagram beberapa selebriti yang mengadakan foto bersama dengan hastag
jannahcorp. Efeknya, masyarakat tak akan pernah puas mencoba satu kue saja,
tetapi ia akan mencoba kue satu ke kue lain. Saat ini membeli Malang Strudle,
besuk hari Surabaya Snowcake, mungkin lusa Palembang Justcake. Perilaku ini
semacam dimotori bahwa tidak enak rasanya kalau belum bisa mencoba semuanya. Dalam
Bagong Suyanto (2014:123), hal semacam ini disebut sebagai konsumsi
sinergistik. Yang dimaskud konsumsi sinergistik adalah gabungan dari sekian
banyak aktivitas leisure, hobi, dan perilaku keranjingan, seperti menonton
filmya, membeli mainannya, membeli novelnya, memakai kostum, membeli dan
bermain video game, dan menelusuri web interaktif. Pada kasus ini konsumsi
sinergistik lebih dipengaruhi oleh banyaknya pilihan yang ditawarkan pada
masyarakat.
Perilaku
konsumsi sinergistik dalam kasus ini memang sedikit berbeda dengan penjelasan
Bagong Suyanto dalam bukunya (2014). Pada kasus ini melihat bagaimana beberapa
selebriti bersatu mmebentuk suatu perkumpulan bisnis yang berbasis pada
produksi kue. Terbukti betul, kehadiran Surabaya Snowcake menyita banyak
perhatian publik. Hal ini diungkapkan oleh berbagai pihak yang megunggah foto
kue tersebut ke akun instagram mereka. Pun disusul dengan kehadiran Surabaya
Patata yang memberikan efek serupa. Belum lagi ini Surabaya Vidi Vini Vici yang
akan segera beredar. Maka dari itu, kehadiran beberapa produk di berbagai aerah
oleh kalangan selebriti telah menjadi komoditas baru yang berhasil msuk dalam
persaingan bisnis kuliner modern.
Penutup
Kue
produksi dengan mengatasnamakan selebriti yang diproduksi dan dipasarkan di
berbagai daerah di Indonesia telah memulai babak baru dalam jajanan khas oleh –
oleh. Panganan yang diidentikkan dengan makanan kekinian tersebut berhasil
menyita perhatian publik. Dengan hadirnya produk tersebut dapat disimpulkan
bahwa : (a). Peran media dalam mendorong bisnis begitu besar, (b). Semua orang
dapat menjalankan bisnis termasuk selebriti, (c). Kue – kue jajanan selebriti
merupakan kue modern yang dimodifikasi dalam bentuk baru dan mengatasnamakan
daerah asal.
Referensi
Suyanto, Bagong. 2014. Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi
di Era Masyarakat
Post-Modernisme. Melbourne: Kencana Prenada Media Group.
Komentar
Posting Komentar