PERJUANGAN BURUH TIDAK SEPERTI DI ERA MARSINAH
Hari buruh internasional
yang diperingati setiap tanggal 1 Mei atau yang biasa disebut May Day selalu
menjadi sorotan utama. Buruh merupakan pekerja yang diidentikkan dengan pekerja
kasar dan berkaitan dengan pekerjaan otot. Kali ini, peringatan hari buruh pada
1 Mei 2017 para buruh mengajukan tiga tuntutan yaiut hapus outsourcing dan
magang, jaminan sosial, dan tolak upah murah yang disingkat menjadi hosjatum. Tuntutan
ini lebih bersifat makro dan selalu didengungkan dari tahun ke tahun.
Sumber gambar : learnmine.blogspot.com
Hari
buruh di Indonesia selalu diidentikkan dengan perjuangan Marsinah, perempuan
pekerja yang berjuang pada jalannya sebagai seorang buruh yang menuntut
keadilan. Marsinah menjadi tolok ukur dan panutan para buruh dari hari ke hari
dan tahun ke tahun. Tuntutan yang diberikan dari masa ke masa hampir sama,
yaitu kesejahteran buruh. Tetapi, seiring berjalannnya waktu, perbaikan
kehidupan buruh sedikit demi sedikit dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha,
meskipun banyak permasalahan yang belum bisa teratasi. Upah minimun regional
misalnya, ditingkatkan seiring dengan perjuangan buruh dan mengacu pada pasal
90 ayat 1 dan pasal 89 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 yang berisi mengenai
pengusaha tidak boleh memberikan upah di bawah UMR. Apalagi, fasilitas –
fasilitas yang diberikan kepada buruh sudah mulai layak seperti asuransi
kesehatan, tunjangan hari raya, uang pensiun yang layak, dan beberapa fasilitas
yang didapatkannya.
Menilik
dari permintaan para buruh terkait dengan hosjatum di atas, sebenarya arah
perjuangan buruh saat ini tidak lagi mengacu pada perjuangan Marsinah. Menjadi
seorng buruh bukan lagi sebuah pekerjaan yang dinilai buruk, menjadi seorang
buruh adalah pekerjaan yang ditunggu – tunggu lulusan sekolah menengah atas
yang bersiap – siap dengan lampiran lamaran kerja. Menjadi buruh di era
sekarang bukan lagi sebuah pekerjaan yang digemakan akan perjuangan kelas bawah
yang tertindas, melainkan beban ekonomi yang mengharuskan untuk memiliki
pekerjaan yang tetap. Lulusan SMA sederajat pada saat ini banyak memilih untuk
bekerja di sektor industri dengan spekulasi gaji yang tinggi dan fasilitas
menujang yang memadai. Jangankan berjuang dan berevolusi, untuk dapat masuk ke
sebuah perusahaan saja sudah menjadi keberuntungan bagi mereka. Hal ini
didorong oleh ketersediaan lapangan kerja yang sempit, kualifaikasi yang berat,
dan tuntutan akan perekonomian serta ketiadaan skill lain mengharuskan para lulusan sekolah memiih profesi buruh
sebagai daya tarik utama.
Di
era sekarang, pada tahun belakangan ini, demonstran buruh didominasi oleh
pekerja laki – laki dan berusia di bawah paruh baya, katakanlah 30-an tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa partsisipasi buruh fresh
graduate sangat minim. Jangankan untuk
ikut aksi, libur satu hari merupakan keberuntungan yang sangat langka. Di era
sekarang, kaum pengusaha memiliki cara agar buruh betah bekerja. Sistem kerja
yang rapi, gaji yang tinggi, dan fasilitas yang diberikan kepada buruh membuat
buruh senang akan pekerjaannya. Namun, aspek timbal balik selalu diharapkan
oleh pengusaha. Buruh diharuskan bekerja di bawah tekanan dan target merupakan
hal yang lumrah. Maka tidak mengehrankan para buruh sangat sregep berangkat bekerja karena orientasi akan uang. Maka sepatutnya
benar pendapat Max Horkheimer bahwa para pekerja menjadi korban atas
pekerjaannya.
Untuk
menjadi seorang karyawan atau buruh bukan lagi masalah ijazah pendidikan
terkahir. Kesempatan kerja yang langka dan lapangan kerja yang amat sedikit
merupakan suatu keuntungan kapitalis untuk menetapkan standar kualifikasi bagi
pencari kerja. Selain dibutuhkan ijazah, faktor good looking dan kecakapan dalam bekerja menjadi indikator utama,
meskipun sering kali kriteria kualifikasi tidak ada kaitannya dalam pekerjaan. Para
pelamar kerja berlomba – lomba untuk bisa mendapatkan pekerjaan sebagai buruh
karena efek dari gaji yang besar dan ketersediaan lapangan kerja yang terbatas.
Setelah diterima bekerja pun, bukan lantas para buruh baru ini terbebas dari
persyaratan yang berbelit seperti pada pendaftaran buruh, tetapi berhadapan
langsung dengan sistem magang, outsourcing, ataupun training. Serangkaian target
yang diberikan perusahaan utnuk diselesaikan buruh pun menjadi tantangan di
babak baru sebagai penanda apakah ia layak menjadi karyawan di perusahaan
tersebut ataukah harus hengkang begitu saja. Berada di tahap ini, buruh – buruh
baru tersebut bukan lagi merasa tertindas, namun senang bukan kepalang karena
berhasil mengalahkan pesaingnya dan mendapati babak baru akan bisa diangkat
sebagai pekerja tetap. Maka tidak mengherankan menjadi buruh merupakan
pekerjaan yang berharga di era sekarang.
Salah
satu perusahaan rokok di Jawa Timur baru – baru ini menggelar lowongan kerja
dengan standar kualifikasi yang tinggi. Beribu – ribu pelamar dari berbagai
lulusan baik SMA maupun sarjana tumpah ruah karena desakan ekonomi dan anggapan
bahwa bekerja di sektor industri merupakan prestise yang tidak bisa didapatkan
oleh semua orang. Calon buruh baru melewati serangkaian tes yang terbilang
banyak dan membuat mereka meluapkan perasaan akan harapan diterima di pabrik
tersebut melalui media sosial. Dapat dilihat di facebook, line, dan bbm, rata –
rata calon buruh menuliskan harapannya di sebuah status media sosial akan
kebahagiaan apabila dapat diterima di pabrik tersebut. Maka tidak mengherankan
apabila perjuangan buruh bukan lagi berjuang seperti Marsinah terhadap
ketidakadilan, melainkan berjuang melawan diri sendiri akan keterpaksaan dan
desakan ekonomi yang mengganjal. Belum lagi standar hidup yang diterapkan
beberapa perusahaan sudah cukup layak untuk para buruh. Sejumlah perusahaan
besar di Jawa Timur telah memenuhi syarat untuk memberikan upah sesuai aturan
UMR, bahkan lebih besar dari itu. Gaji buruh bukan lagi patokan utama dalam
permasalahan, sebab para buruh sangat senang dengan upah yang ia peroleh, belum
lagi asuransi dan tunjangan lain yang sangat layak dan memadai.
Dengan
berbagai fasilitas yang memadai bukan berarti buruh hidup dalam kesenangan
hakiki, namun lebih tepat diibaratkan berada dalam sangkar emas. Buruh ditargetkan
untuk bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan perusahaan, bahkan jam
kerja yang bisa – bisa melebihi batas. Seperti pada salah satu perusahaan besar
di Jawa Timur, sebelum hari buruh 2017 pada hari Minggu, para buruh diwajibkan
masuk kerja padahal hari Minggu merupakan hari libur. Perusahaan mengklaim
bahwa hari tersebut merupakan pengganti hari buruh di hari Senin. Sebenarnya hal
ini sangat bertentangan dengan aturan namun hal ini tetap berjalan. Para buruh
tetap mau bekerja pada hari libur tersebut sebab ada ceperan yang diberikan perusahaan. Maka sudah menjadi hal biasa
bahwa buruh mendapatkan kesenangan tetapi juga merasakan alienasi yang semu.
Referensi : megapolitan.kompas.com
Tulisan ini berangkat dari fakta empirik
di tempat kelahiran penulis.
Sialan
BalasHapus